كَالْشَّبَهِ الْوَضْعِيِّ فِي اسْمَيْ جِئْتَنَا ¤ وَالْمَعْـنَـــوِيِّ فِي مَتَى وَفِي هُـــــــنَا
Seperti keserupaan bangsa “Wadh’i” dalam kedua isim yang ada pada lafadz “ji-tana” جئتنا’ . Dan keserupaan bangsa “Maknawi” dalam lafadz “mataa” متى dan “hunaa” هنا.
وَكَنِيَابَةٍ عَنِ الْفِعْلِ بِلاَ ¤ تَأَثُّــــرٍ وَكَافْــتِقَارٍ أُصِّلا
Dan keserupaan bangsa “Niyabah”
pengganti dari Fi’il tanpa terpengaruh i’rob (Isim Fi’il). Dan
keserupaan bangsa “Iftiqoriy” karena membutuhkan yang lainnya
(kebutuhan yang musti / shilah) .
———-
Kitab Alfiyah Bab Mu’rob dan Mabni :
Disebutkan pada dua bait di atas
tentang macam-macam keserupaan kalimat isim terhadap kalimat huruf yang
menjadi faktor kemabnian Kalimat Isim tersebut. Segi keserupaan ini
terdapat pada empat faktor:
1. Keserupaan pada Kalimat Huruf bangsa Wadh’i (Kondisi bentuknya) :
Yaitu isim yang bentuknya serupa dengan bentuk kalimat huruf, hanya terdiri dari satu huruf, misal TA’ pada lafadz ضربت. Atau hanya terdiri dari dua huruf, misal NA pada lafadz أكرمنا. Sebagaimana contoh dalam Bait.
جئتنا = Engkau datang kepada kami. -TA’-nya adalah Isim Fa’il dan NA-nya adalah Isim Maf’ul dari Kata Kerja جَاءَ-
Inilah yang diisyaratkan Ibnu Malik dalam perkataan -fiesmaa ji’-tana- (dalam kedua isim yag terdapat pada lafad ‘ji-tana).
Huruf -ta- yang
terdapat pada lafad -ji-tanaa- merupakan isim, karena berkedudukan
sebagai -fail-. Isim disini mabni karena bentuknya mirip dengan huruf,
yaitu terbentuk dalam satu huruf seperti layaknya huruf. Demikian pula
-naa- yang setelahnya, merupakan isim pula, karena kemiripannya dengan
huruf dalam hal bentuknya, yaitu terbentuk atas dua huruf.
2. Keserupaan pada Kalimat Huruf bangsa Ma’nawi (Maknanya) :
Dalam hal ini ada dua term :
(1). Keserupaan bangsa
makna yang ada padanannya, misal متى serupa maknanya dengan Kalimat
Huruf Istifham (kata tanya). Atau serupa maknanya dengan Kalimat Huruf
Syarat.
→ Contoh Isim Istifham :
مَتَى تَقُومُ ؟ = Kapan kamu mau berdiri ?
مَتى السّفرُ ؟ = Kapan bepergian ?
مَتَى نَصْرُ الله أَلاَ إِنَّ نَصْرَ الله قَرِيبٌ = “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
→ Contoh Isim Syarat :
مَتَى تَقُمْ أَقُمْ = Bilamana kamu berdiri, niscaya aku ikut berdiri.
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ = Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
(2). Keserupaan bangsa
Ma’nawi yang dikira-kira, karena tidak ada padanannya. Misal هنا artinya
: disini (kata tunjuk sesuatu/Isim Isyarah) serupa maknanya dengan
Kalimat Huruf secara dikira-kira karena tidak ada contoh kalimat huruf
padanannya. Namun demikian, Isim isyarah ini menunjukkan makna dari suatu makna,
diserupakan dengan Kalimat Huruf yang juga menunjukkan karakter
demikian, seperti Kalimat Huruf ما Nafi untuk meniadakan sesuatu, لا
Nahi untuk mencegah sesuatu, ليت Tamanni untuk mehayalkan sesuatu, dan
لعل Taroji untuk mengharap sesuatu, dan lain-lain. Contoh :
أَتُتْرَكُونَ فِي مَا هَاهُنَا آمِنِينَ = Adakah kamu akan dibiarkan tinggal disini (di negeri kamu ini) dengan aman
3. Keserupaan pada Kalimat Huruf bangsa Niyabah (Pengganti Fi’il) :
Yaitu semua jenis “Isim
Fi’il” atau Kalimah Isim yang beramal seperti amal Kalimah Fi’il
beserta bebas dari bekas ‘Amil, yang demikian adalah seperti Kalimat
Huruf. Contoh:
هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ لِمَا تُوعَدُونَ = jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan kepada kamu itu
دَرَاكِ زَيْدًا = Temukan Zaid!
Lafazh دراك “Darooki”
pada contoh ini adalah Isim Mabni (Mabni Kasroh) karena serupa dengan
Kalimah Huruf pada faktor Niyabah. disebutkan dalam Bait: بلا تأثر “yang
tanpa dibekasi amil” atau mengamal I’rob tanpa bisa diamali I’rob.
Adalah untuk membedakan dengan Isim yang beramal seperti Kalimat Fi’il tapi ada bekas Amil. Contoh :
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا = dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa!
ضَرْبًا زَيْدًا = Pukullah Zaid!
Lafadz ضربا “Dhorban”
adalah Isim masdar yang dinashobkan oleh ‘Amil yaitu Kalimat Fi’il yang
dibuang, menggantikan tugas Kalimat Fi’il اضرب “Idhrib!” pukullah!.
Berbeda dengan lafadz دراك “Darooki” sekalipun dikatakan pengganti tugas
Kalimat Fi’il أدرك “Adrik!” temukan! Tapi ia mandiri tanpa ada
pembekasan ‘Amil.
Walhasil dari apa yang
tersirat dari Bait Syair Mushannif : bahwa Masdar dan Isim Fi’il
bersekutu dalam hal sama-sama menggantikan tugas Kalimat Fi’il.
Perbedaannya adalah: Masdar ada bekas ‘Amil, dihukumi Mu’rob karena
tidak serupa dengan Kalimat Huruf. sedangkan “Isim Fi’il” tidak ada
bekas ‘Amil, dihukumi Mabni karena serupa dengan Kalimah Huruf.
Mengenai kemabnian dan
masalah khilafiyah yang ada pada Kalimat Isim Fiil ini, akan diterangkan
nanti pada Bait-Bait Syair Mushannif secara khusus yaitu pada Bab Isim
Fi’il dan Isim Ashwat. Insya Allah.
4. Keserupaan pada Kalimah Huruf bangsa Iftiqoriy (Kebutuhan yang musti) :
Maksudnya adalah Isim
Maushul seperti الذي dan saudara-saudaranya, musti butuh terhadap jumlah
sebagai shilahnya. Sama seperti Kalimah Huruf yang musti butuh kepada
kalimat lain. Oleh karena itu Isim Maushul dihukumi Mabni. Disebutkan
dalam Bait وكافتقار أصلا “Kebutuhan yang dimustikan” untuk membedakan
dengan Kalimah Isim yang Iftiqorinya/karakter kebutuhannya tidak musti.
Seperti “Isim Nakirah” yang disifati, butuh terhadap jumlah sebagai
sifatnya, namun kebutuhannya itu tidak sampai pada kategori lazim atau
musti. Contoh:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي اْلاَرْضِ جَمِيعًا = Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
Kesimpulan dari dua
Bait di atas, bahwa Isim Mabni ada enam bab : Isim Dhomir, Isim Syarat,
Isim Istifham, Isim Isyarah, Isim Fi’il dan Isim Maushul. *** (Ref. Ibnu Thoha).
Humor Nahwu
September 24, 2011ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة
وجادلهم بالتي هي احسن
Ma’nahu Wallohu ‘Alam : “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An Nahl : 125).
—–
Disitu ada Fi’il Muta’addi (Ud’u) ; tapi tak disebutkan “Maf’ul bih-nya”. Kenapa ?.Karena sudah karuan jelas, yang diajak adalah yang belum berada di jalan Allah. Seperti halnya kernet ngajak naik bis, yang diajak yang belum naik.Ketika ngajak, kernet sudah naik duluan. Dan kernet biasanya tidak memaksa. Yang suka maksa-maksa itu calo.Calo tidak ikut naik bis.
Alat : Filsafat dari Alfiyah
Juli 8, 2011
Untuk bisa membuat
Filsafat Alfiyah sendiri maka langkah pertama yang harus kita lakukan
adalah pendalaman materi terhadap fans tersebut. Pemahaman tersebut
meliputi bait Alfiyah/keterangan pokok kemudian pendalaman murod dan
syarah.
Setelah kita benar-benar paham terjemah
dari segi lafdziyahnya maka kita mencoba mengkiaskan terjemah tersebut
dengan masalah yang berhubungan dengan kita.
Tetapi ada juga cara yang lain untuk
membuatnya yaitu dengan mengetahui makna mufrodat dari lafadz yang ada
pada nadzom Alfiyah. Seperti contoh makna :
الاسم
Yaitu Luhur. Maka untuk terjemah filsafatnya adalah orang yang mempunyai sifat luhur. Filsafat dari nadzom :
…. والاسم بالجروالتنوين …. الخ
Adalah ciri-ciri orang yang mempunyai sifat luhur, yaitu :
- Bil jarri (Tawadhu)
- Tanwin (Ramah tamah)
- Nida’ (Tidak tergila-gila dengan popularitas)
- Al (Mengetahui/berpengalaman/arif)
- Musnad (Urusannya selalu disandarkan / tawakal dengan Allah).
Ini bet alfiyahnya :
بِالجَرِّ وَالتّنْوِيْنِ وَالنِّدَا وَاَلْ # وَمُسْنَدٍ لِلإسْمِ تَمْيِيْزٌ حَصَلْ
Dengan sebab Jar, Tanwin, Nida’, Al, dan Musnad, tanda pembeda untuk Kalimat Isim menjadi berhasil.
Wallohu ‘alam. ***
Ref. : Alfiyah Bait 10 ; (http://iqbal1.wordpress.com/2010/08/19/alfiyah-bait-10-tanda-kalimat-isim-jar-tanwin-nida%e2%80%99-al-musnad/).
Hikmah : Tawadhu, Rahasia Al-fiyah Bet 5, 6, 7.
Januari 11, 2011بسـم الله الرحمن الرحيم
Bait 5 :
وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ # فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
Maka ia menuntut keridhoan tanpa
kemarahan (ketekunan dan kesabaran dalam mempelajarinya) # Ia telah
mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibnu Mu’thi (Imam Abu Zakariya Yahya
putra Imam Mu’thie).
Qouluhu wa taqtadhie
: Dalam bait 5 muqoddimah ini, Kyai Mushonnif Syeikh Al-’alamah Imam
Ibnu Malik menyampaikan pesan khusus muatan kitab al-fiyahnya. Ia
menuntut kepada keridloan ; dari Alloh SWT, pengarang dan dari yang
mempelajarinya. Tekun dan sabar mempelajarinya dengan tidak disertai
amarah. Alfiyah ini gaya bahasanya tidaklah sulit, mudah dicerna. Mampu
mendekatkan pengertian yang jauh dalam ilmu nahwu dengan ungkapan yang
ringkas. Kepadatan materinya dapat menjabarkan pengertian yang luas.
Juga menyampaikan iklan bahwa karangan Al-fiyah kami (Kata Kyai
Mushonif), sudah mencakup dan lebih unggul daripada alfiyah karangan
Imam Ibnu Mu’thie.
Qouluhu Faiqotan : Bait ini disebutnya ‘Mutahharok’, -rubah ujung-, sebab asal lengkapnya, ‘faa ieqotan minha bi alfi baeti’.
Diceritakan bahwa setelah Kyai Mushonif
selesai mengarang bait ini, mendadak semua karangan Al-fiyahnya hilang
dari ingatan, mendadak menjadi lupa. Syahdan sampai 2 tahun lamanya,
serta Kyai Mushonif sempat tidak sadarkan diri.
Dalam tidak sadarkan diri, syahdan Kyai
Mushonif bermimpi jumpa dengan seseorang yang sudah sepuh. Kemudian
orang tsb mengajukan pertanyaan kepada Kyai Mushonif :
“Bukankah engkau mengarang Al-fiyah, sudah sampai dimana ?”. Lantas orang tsb memberikan bait berikut,
“Wal hayyu qod yaghlibu alfa mayyiti”. (Dan adapun seorang yang hidup, terkadang dapat mengalahkan seribu orang yang telah meninggal).
Adapun orang yang dijumpai dalam mimpi
tersebut tiada lain adalah Syaikh Al-’alamah Imam Abu Zakariya Yahya
ibnu Imam Mu’thie, ulama yang telah terlebih dahulu mengarang alfiyah.
Setelah bermimpi seperti itu, Syeikh Ibnu
Malik terbangun, dan dapat mengingat kembali karangan Al-fiyahnya
seperti sedia kala. Lantas Ibnu Malik introspeksi dan memohon permintaan
maaf atas kemasgulan karangannya serta kekhilafannya, kurang tawadhu
dan telah su’ul adab kepada Imam Ibnu Mu’thie dengan menyampaikan bait 6
berikut :
Bait 6 :
وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً # مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
Dan sebab lebih dulu sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan # dan mewajibkan sanjungan indahku (untuknya).
Yang maksudnya, jadi karena Syeikh Ibnu
Mu’thie sudah terlebih dahulu dalam zamannya, maka lebih utama mendapat
keunggulan, serta layak jika Ibnu Malik mengakui dan memberikan
sanjungan keutamaan kepada kitab karangan Ibnu Mu’thie serta pribadinya.
Adapun Ibnu Mu’thie, lahir tahun 564 H, wafat tahun 628 H (Berusia 64
tahun).
Sebagaimana ada ungkapan bahwa ; “Al-fadhlu lil mutaqoddimiena”.
(Adapun keutamaan itu, tetap kepada rupa2 orang yang terdahulu).
Seperti Imam dengan Ma’mum, Mubtada dengan Khobar, Jar dengan Majrur,
Orang tua dengan Anak, dsb. Lantas Ibnu Malik berdo’a kepada Alloh SWT.
dengan bait 7 berikut :
Bait 7 :
وَاللهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ # لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
Semoga Allah menetapkan pemberian-pemberian yang sempurna # untuku dan untuknya didalam derajat-derajat akhirat.
Tanbih : Lafad “Wallohu yaqdhie” umpama menurut ilmu ma’ani termasuk kepada lafad khobar, maknanya du’a. Adapun yang dimaksudnya adalah ; “bi hibbati wafiroh”, yaitu “Tsubuutul iman wal islam” (Tetapnya iman dan islam).
I’lam : Tapi menurut sebagian ulama, bait ini kurang tepat, yang bagusnya adalah : “Wallohu yaqdhie bir-ridlo’a warrohmah # Lie wa lahu wa li jamie-iel ummah”. Wallohu a’lam. *** (Iqbal1).
Catatan : Fi’il Ta’ajjub
Oktober 28, 2010التَّعَجُّبُ
بِأَفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا # أَو جِىء بِأَفْعِلَ مَجْرُورٍ بِبَا
وَتِلوَ أَفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كَمَا # أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا
وَحَذْفَ مَا مِنْهُ تَعَجَّبْتَ ا سْتَبحْ # إِنْ كَانَ عِنْدَ الحَذْفِ مَعْنَاهُ يَضِحْ
وَفِي كِلاَ الفِعْلَيْنِ قِدْمَاً لَزِمَا # مَنْعُ تَصَرُّفٍ بِحُكْم حُتِمَا
وَصُغْهُمَا مِنْ ذِي ثَلاَثٍ صُرِّفَا # ً قَابِلِ فَضْلِ تَمَّ غَيْرِ ذِي انْتِفَا
وَغَيْرِ ذِي وَصْفٍ يُضَاهِي أَشْهَلا # َ وَغَيْرِ سَالِكٍ سَبِيْلَ فُعِلاَ
وَأَشْدِدَ أو أَشَدَّ أَو شِبْهُهُمَا # يَخْلُفُ مَا بَعْضَ الشُّرُوطِ عَدِ مَا
وَمَصْدَرُ العَادِمِ بَعْدُ يَنْتَصِبْ # وَبَعْدَ أَفْعِل جَرُّهُ بِالبَا يَجِبْ
وَبِالنُّدُورِ احْكُمْ لِغَيْرِ مَا ذُكِرْ # وَلاَ تَقِسْ عَلَى الَّذِي مِنْهُ أُثِرْ
وَفِعْلُ هَذَا البَابِ لَنْ يُقَدَّمَا # مَعْمُولُهُ وَوَصْلَهُ بِهِ الزَمَا
وَفَصْلُهُ بِظَرْفٍ أو بِحَرْفِ جَرّ # مُسْتَعْمَلٌ وَالخُلفُ فِي ذَاكَ اسْتَقَرْ
- الفية ابن مالك -
Link MP3 : http://www.islamhouse.com/media.php?f=60784
Keterangannya :
Kyai Musonif
akan menerangkan Bab Ta’ajjub. Apa sebabnya bab ta’ajjub (Di Kitab)
disampaikan setelah bab sifat musyabbahah. Karena antara sifat
musyabbahah dengan ta’aajub terdapat wajah kebersamaan (musyarokah).
Adapun yang terdahulu membuat shegat
ta’ajjub adalah putera perempuannya Imam Abu Aswad Addualie, yaitu
pernah mengatakan begini : “Maa Asyaddul harri ?”. Terus kalimah itu
dibetulkan oleh ayahandanya sebab tarkibannya salah. Adapun yang
benarnya adalah begini : ”Maa Asyaddal harro”, artinya : “Amat sangat
panasnya”, dan (mengingat) ta’rifnya ta’ajjub itu yaitu : “Idrooku
umuurin ghooribatin khoofiyatis-sabab”. Artinya : “Menemukan perkara
yang aneh dengan tidak hafal sebabnya”.
Syarat ta’ajjub itu ada tiga : 1. Harus
menyandar (sanding) antara Maa Ta’ajjub dengan Fi’il Ta’ajjub. 2.
Fi’ilnya harus bangsa Tsulatsie. 3. Asal pokok Mu’ta’ajjub Minhu-nya
wajib ma’rifat, ilatnya lietahsielil faa idah.
Rukun ta’ajjub itu ada tiga : 1. Maa ta’ajjubiyah. 2. Fi’il ta’ajjub. 3. Muta’ajjub minhu (ma’mul ta’ajjub).
Pembagian ta’ajjub itu ada dua : 1. Ta’ajjub Dzatie, yaitu bilamana ta’ajjub diatur dengan wazan “Maa Af’ala” dan “Af’il Bihi”. 2. Ta’ajjub ‘Arodhie, yaitu ta’ajjub yang keluar dari wazan “Fa’ila” dipindahkan ke wazan “Fa’ula” seperti “Qodhuwar rojulu”, dan yang keluar dari jumlah ismiyah seperti “Wallohu dhorruhu faa risan”.
Kesimpulan tiap2 Bait :
Ta’ajjub adalah berarti juga ;
“Memperbesar kelebihan pada sifat fa’il yang penyebabnya masih samar”.
Ini sebaik2nya ta’rif seperti pendapat Ibnu Ushfur ; “Huwas-ti’dhoomu
ziyaadatin fie wasfil-faa’ili khofiya sababuhaa”. (Ibnu Hamdun : 1 ; 232)
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 1 di atas :
بِأَفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا # أَو جِىء بِأَفْعِلَ مَجْرُورٍ بِبَا
“Dengan yg turut
akan wazan af’ala, harus mengucapkan kamu (halnya tetap) setelah maa
ta’ajjub ; Atau mendatangkan kamu kepada mauzuun yg turut akan wazan
af’il, halnya tetap sebelum isim yang dijarkan oleh ba ziyadah”.
Bentuk pertama : Bilamana akan menjadikan fi’il ta’ajjub, samakan saja kepada wazan “af’ala”, diamkan setelah lafadh “maa”.
Contoh : “Maa ahsana
zaidan” (Alangkah baiknya Si Zaed). – “Maa afdholahuu wa maa a’lamahuu”
(Alangkah utamanya dia dan alangkah alimnya dia).
“Maa” adalah mubtada
(ini kata khusus permulaan kata fi’il ta’ajjub) bermakna sesuatu, dan
“af’ala” adalah fi’il madhi (kata kerja lampau bangsa tsulatsie -majied-
/ berasal dari tiga huruf yg menerima tambahan), sedangkan fa’ilnya
(subjeknya) adalah dhamir (kt ganti) yg tersembunyi wajib disembunyikan,
yg kembali kepada “maa” ; dan isim yg dinashabkan ialah “muta’ajjub
minhu” (pengikut amal), berkedudukan sebagai “maf’ul beh” (objek
penderita), sedangkan jumlah semuanya merupakan khabar dari “maa”.
Bentuk kedua :
Atau samakan saja kepada wazan “af’il”, diamkan setelah kalimat yang
dijarkan oleh “ba-ziyadah”. Seperti “Ahsin bi zaedin ” (Alangkah baiknya
si zaid) – “Akrim bihi” (Alangkah mulianya dia).
Lafadh “af’il” adalah
fi’il yg lafadhnya berbentuk amar tetapi maknanya adalah ta’ajjub (bukan
perintah), dan di dalamnya tidak mengandung dhamir. Sedangkan “bi
zaedin” adalah fa’ilnya.
Bentuk asal kalimah
“Ahsin bi zaedin” (Alangkah baiknya Si Zaed) ialah “Ahsana Zaedun” (Si
Zaed menjadi orang yg baik) ; perihalnya sama dengan “Auroqosy-syajaru”
(Pohon itu telah berdaun), kemudian bentuknya diubah menjadi bentuk
amar, maka dianggap tidak baik bila secara langsung disandarkan kepada
isim dhohir, untuk itulah maka ditambahkan huruf “ba” pada fa’ilnya.
(Wallohu ‘alam)
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 2 di atas :
وَتِلوَ أَفْعَلَ انْصِبَنَّهُ كَمَا # أَوفَى خَلِيْلَيْنَا وَأَصْدِقْ بِهِمَا
“Dan harus
menashabkan kamu atas isim yang sanding kepada lafadh af’ala. Tegasnya
harus menashabkan kamu atas isim yang sanding kepada lafadh af’ala
seperti Maa aufaa kholielaenaa wa ashdiq bihima (Seperti perkara yang
memenuhi dua sahabat/kekasih kami, serta kaget benar keduanya)”.
Kalimah yang
menyandar/sanding kepada fi’il ta’ajjub wazan “maa af’ala” maka harus
dinashabkan. Contoh seperti “Maa ahsana zaidan”, Ilat sebabnya harus
nashab ; “li anna ma’muulat-ta’ajjubi bi shurotil-fadhlati. Wa
haqqul-fadhlati an yakuuna manshuuban” (karena sesungguhnya “ma’mul maa
fi’il ta’ajjub” itu seperti tambahan/fadlah. Adapun hak-nya fadhlah
terbuktinya dinashabkan).
Adapun kalimah yang
menyandar kepada fi’il ta’ajjub wazan “af’il”, maka kalimat itu jar-kan
oleh “haraf jar zaidah laazimiyyah”. Contoh seperti lafadh “Ahsin bi
zaedaeni” dan seperti lafadh “Wa ashdiq bihimaa”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 3 di atas :
وَحَذْفَ مَا مِنْهُ تَعَجَّبْتَ ا سْتَبحْ # إِنْ كَانَ عِنْدَ الحَذْفِ مَعْنَاهُ يَضِحْ
Adapun perkara fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu apabila ada dalil boleh dibuangnya, tetapkan (anggerkeun) fi’il ta’ajjubnya. Contoh seperti lafadh dalam sya’iran :
“Aroo umma amrin dam’uhaa qod tahadaroo ; Bukaa-an ‘ala amrin wa maa kaana ashbaroo”. “Wataqdieru maa kanaa ashbaroha“.
(Menyaksikan saya akan ibunya Ki Amar air matanya betul2 telah
berlinang ; oleh sebab menangisi Ki Amar dan semoga menjadi sabar ibunya
Ki Amar).
“Haa” disitu (maa kanaa ashbaroha)
adalah maf’ul lafadh ashbaro, dibuang karena menunjukkan kepada lafadh
sebelumnya (“lidalaalati maa qoblahu alaih / alaih bima taqoddama”).
Contoh yg kedua seperti firman Alloh SWT ; “Asmi’ bihim wa abshir (wallohu ‘alam). Attaqdieru wa abshir bihim. “Bihim” dibuang setelah wa abshir”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 4 di atas :
وَفِي كِلاَ الفِعْلَيْنِ قِدْمَاً لَزِمَا # مَنْعُ تَصَرُّفٍ بِحُكْم حُتِمَا
Adapun perkara fi’il
ta’ajjub, baik wazan af’ala ataupun wazan af’il, maka fi’il itu dicegah
dua-duanya dari di-tashrif, meskipun mulanya menerima di-tashrif.
Tegasnya tidak pernah digunakan wazan af’ala selain fi’il madhinya, dan
tidak pernah digunakan wazan af’il selain fi’il amarnya.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 5 / 6 di atas :
وَصُغْهُمَا مِنْ ذِي ثَلاَثٍ صُرِّفَا # ً قَابِلِ فَضْلِ تَمَّ غَيْرِ ذِي انْتِفَا
وَغَيْرِ ذِي وَصْفٍ يُضَاهِي أَشْهَلا # َ وَغَيْرِ سَالِكٍ سَبِيْلَ فُعِلاَ
Apabila hendak mencetak
fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu harus menyamakan kepada persyaratan yang
tujuh, yg diterangkan dalam dua bait ini :
1. Harus fi’il bangsa
tsulatsie. 2. Harus menerima di-tashrif. 3. Harus ada makna fi’il itu
yang menerima pada saling melebihkan. 4. Fi’ilnya harus fi’il tam (tdk
goer qiyas). 5. Fi’ilnya jangan manfi (negatif). 6. Dan tdk boleh fi’il
yg mempunyai shegat sama kepada wazan af’ala. 7. Dan fi’ilnya tdk boleh
yg majhul (pasif).
Contoh fi’il ta’ajjub yg memenuhi persyaratan seperti ini ; “Maa ahsana zaedun” dan seperti “Wa ashdiq bihi”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 7 / 8 di atas :
وَأَشْدِدَ أو أَشَدَّ أَو شِبْهُهُمَا # يَخْلُفُ مَا بَعْضَ الشُّرُوطِ عَدِ مَا
وَمَصْدَرُ العَادِمِ بَعْدُ يَنْتَصِبْ # وَبَعْدَ أَفْعِل جَرُّهُ بِالبَا يَجِبْ
Bilamana terdapat fi’il
kosong dari sebagian syarat, maka fi’il itu apabila dijadikan fi’il
ta’ajjub gantikan saja oleh lafadh “Asydid” atau oleh lafadh “Asyadda”,
atau “Syibahahnya”, tegasnya “Aktsaro” dan “Aktsir Bihi”. Kemudian ambil
masdharnya fi’il yg kosong dari setengahnya syarat itu, simpan setelah
lafadh “Asyadda”, bacanya harus “Dinashabkan”. Contoh seperti lafadh
“Maa asyadda dakhrojatahu”, atau seperti lafadh “Maa asyadda
istikhroojahu”.
Atau simpan setelah
lafadh “Asydid” beserta wajib dijarkan oleh “Ba zaidah” masdar itu.
Contoh seperti lafadh “Asydid bi dakhrojatihi”, atau seperti lafadh
“Asydid bi istikhroojatihi” (Ini ruba’i).
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 9 di atas :
وَبِالنُّدُورِ احْكُمْ لِغَيْرِ مَا ذُكِرْ # وَلاَ تَقِسْ عَلَى الَّذِي مِنْهُ أُثِرْ
Bilamana ada fi’il
kosong dari sebagian syarat, tetapi tetap dijadikan fi’il ta’ajjub, tapi
tidak digantikan oleh lafadh “Asyadda”, tidak digantikan oleh lafadh
“Asydid”, dan tidak digantikan oleh lafadh “Syibahahnya”, maka fi’il itu
hukumnya “Langka”, tegasnya “Samaa’i”, jangan diqiyaskan. Contoh
seperti lafadh “Maa ahshorohu”, dan seperti “Maa uhmiqoohu”, tegasnya di-mabni-majhulkan (Dipasifkan), dan seperti “Maa a’ssahu” dan seperti “a’si bihi”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 10 di atas :
وَفِعْلُ هَذَا البَابِ لَنْ يُقَدَّمَا # مَعْمُولُهُ وَوَصْلَهُ بِهِ الزَمَا
Adapun perkara ma’mul
fi’il ta’ajjub, maka fi’il itu tidak boleh didahulukan, diakhirkan fi’il
ta’ajjubnya. Contoh seperti lafadh “Maa ahsana zaedun”, tdk boleh
dibaca “Zaedun maa ahsana”, dan seperti lafadh “Ahsin bi zaedin”, tdk
boleh dibaca “Bi zaedin Ahsin”. Ilatnya ; “Liannaha min adawaatil
ibtida-i”.
Kesimpulan Kaidah Ta’ajub di bait 11 di atas :
وَفَصْلُهُ بِظَرْفٍ أو بِحَرْفِ جَرّ # مُسْتَعْمَلٌ وَالخُلفُ فِي ذَاكَ اسْتَقَرْ
Adapun perkara antara
fi’il ta’ajjub dengan ma’mulnya dipisah oleh “Huruf Jar”, atau “Dhorof”
(keterangan waktu atau tempat), maka fi’il itu hukumnya rebutan kaol.
Menurut sebagian kaol “Jamaatu Nahwiyyin” serta Imam Ajjurumie, boleh
dipisah dengan “dhorof” atau “jar-majrur”. Menurut sebagian lagi tidak
boleh, yaitu menurut Imam Akhfasy dan Imam Mubarrod.
Contoh yang boleh
seperti lafadh “Maa ahsana fie haejaa’i liqoo ahaa” (Aduh alangkah
bagusnya pada waktu susah menemui kekasih”) , dan seperti lafadh “Akrim
fid-darbaati ‘athoo-a-haa” (Aduh alangkah mulyanya pada waktu susah
memberinya tanda mata”. Adapun ilatnya kenapa boleh dipisah dengan
“Dharaf” dan “Jar-majrur”, karena ; “Liannadh-dhorfa wal jarro la
yu’taddu bihimaa faa shilan”. (Karena sesungguhnya dhorof dan jar-majrur
tidak dihitung sebagai yang memisahkan). Wallohu ‘alam*** (Iqbal1)
Referensi :
- Hasyiyah Al-’alamah Ibnu Hamduun ‘Ala Syarah Al-Makuudie Lil Al-fiyah Ibnu Maalik : (232-236).
- Syarah Ibnu ‘Aqiel ‘Ala Al-fiyah Ibnu Maalik : (120-122)
- Mutamimmah Ajjuruumiyyah : (A ; 36, B ; 388-389)
- Tashielul Masaalik Fie Tarjamah Alfiyah Ibnu Maalik : (329-334)
- Al-Amtsilatu At-Tashrifiyyah : (2-65)
- Http://nahwusharaf.wordpress.com
Alfiyah Bait 15 : Isim Mu’rob dan Isim Mabni
Oktober 15, 2010الْمُعْرَبُ وَالْمَبْنِي
وَالاسْمُ مِنْهُ مُعْرَبٌ وَمَبْنِي ¤ لِشَبَـــهٍ مِنَ الْحُــرُوْفِ مُدْنِي
Diantaranya Kalimat Isim ada yang Mu’rab, dan ada juga yang Mabni karena keserupaan dengan kalimah Huruf secara mendekati.
Isim Mu’rob : yaitu Isim yang selamat dari keserupaan dengan Kalimat Huruf.
Isim Mabni : yaitu Isim yang dekatnya keserupaan dengan Kalimat Huruf.
Menurut pendapat Kyai Mushannif bahwa
yang menjadi illat kemabnian Kalimat Isim dirumuskan menjadi “Serupa
Kalimat Huruf” yang akan dijelaskan bagian-bagiannya pada dua bait
berikutnya. Rumusan Mushannif ini sejalan dengan pendapat Mazhab Nahwu
lain seperti Imam Abu Ali al-Farisi, juga Imam Sibawaih, bahwa Illat
kemabnian kalimat Isim semuanya dikembalikan kepada “Serupa kalimat
Huruf”. *** (Ibnu Toha)
Ref. Al-majmuah Alfiyah Ibnu Malik ; Tas-hilul Masalik Fi Tarjamah Alfiyah Ibnu Malik.
Insert : Posisi Bahasa Arab
September 28, 2010
Segala puji bagi Allah, Shalawat dan Salam Tercurah limpahkan kepada Rasulullah saw.
Belajar
Bahasa Arab merupakan Fardhu Kifayah, karena merupakan jalan untuk bisa
memahami AL-QUR’AN dan ASSUNNAH, jika satu orang saja sekampung belajar
Bahasa Arab, maka penduduk sekampung tidak akan berdosa. Ini kalau
sekiranya disandarkan kepada penduduk kampung. Tapi kalau disandarkan
kepada tiap individu Muslim, wajiblah belajar Bahasa Arab yang mana
dalam amalan-amalan Fardlu seperti bacaan dalam Shalat, tidaklah shah
tanpa Bahasa Arab. Imam Syafi’i berkata : wajib pada tiap-tiap Muslim
untuk belajar Bahasa Arab kalau ingin sampai kepada kesungguhannya dalam
melaksanakan kefardhuannya. Jika bukan karena mengamalkan Fardhu, maka
belajar Bahasa Arab hukumnya sunnah, selain yang ingin mengetahui seluk
beluk Syari’at Islam, karena wajib bagi para Alim Syari’at belajar
Bahasa Arab untuk memahami tentang Syari’at Qur’ani atau Syari’at
Haditsi.
Alllah berfirman :
[12:2] Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.
[26:195] dengan bahasa Arab yang jelas.
[16:103.
Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata : "Sesungguhnya
Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)."
Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar
kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang
terang.
Bahasa ‘Ajam
ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang
tidak baik, karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang
Arab dan hanya tahu sedikit-sedikit bahasa Arab.
Dan masih banyak dalil ayat-ayat yang lain, bahwa AL-QUR’AN Berbahasa Arab dengan lisan Arab, bukan Berbahasa Ajam (selain
Bahasa Arab) juga bukan dari lisan Ajam. maka jika ingin memahami
al-Qur’an, fahamilah secara lisan Arab. AL-QUR’AN tidak akan bisa
difahami tanpa pengetahuan secara lisan Arab.
Para
Masyayikh berkata : Tidak boleh tidak, dalam menafsirkan Qur’an dan
Hadits, harus mengetahui apa yg menjadi dalil atas apa yg dimaksud dan
yg dikehendaki Allah dan Rosulnya dari lafadz-lafadz dan
kalimat-kalimat, dan bagaiman cara memahami Firmannya. maka kita
dituntut untuk mengetahui Bahsa Arab untuk menjelaskan pengertian dari
maksud Firman Allah dan Sabda RasulNya. Begitu juga kita diharuskan
mengetahui dalil-dalil secara Lafzhiy atas Ma’aniy. Karena banyak yang
salah langkah dalam beragama, dikarenakan kurang fahamnya pada masalah
ini. Sehingga mereka membawa-bawa Firman Allah dan Sabda Rasulullah
sebagai dalil atas apa yang difatwakannya. Padahal yg dimaskud tidaklah
demikian. (**)
Ref. Nahwusharaf.wordpress.com
Alfiyah Bait 12-13-14. Pembagian Kalimah Huruf dan Kalimah Fi’il serta ciri-cirinya.
September 22, 20101. Pembagian Kalimah Huruf dan Ciri-Cirinyaسِوَاهُمَا الْحَرْفُ كَهَلْ وَفِي وَلَمْ ¤ فِعْـــلٌ مُـضَــارِعٌ يَلِي لَمْ كَـيَشمْ
Selain keduanya (ciri Isim dan Fi’il) dinamakan Kalimah Huruf, seperti lafadz Hal, Fi, dan Lam. Ciri Fi’il Mudhori’ adalah dapat mengiringi Lam, seperti lafadz Lam Yasyam.وَمَاضِيَ الأَفْعَالِ بِالتَّا مِزْ وَسِمْ ¤ بِالنُّـــوْنِ فِعْلَ الأَمْرِ إِنْ أَمْرٌ فُهِمْ
Dan untuk ciri Fi’il Madhi, bedakanlah olehmu! dengan tanda Ta’. Dan namakanlah Fi’il Amar! dengan tanda Nun Taukid (sebagi cirinya) apabila Kalimah itu menunjukkan kata perintahوَالأَمْرُ إِنْ لَمْ يَكُ لِلنّوْنِ مَحَلْ ¤ فِيْهِ هُوَ اسْمٌ نَحْوُ صَهْ وَحَيَّهَلْ
Kata perintah jika tidak dapat menerima tempat untuk Nun Taukid, maka kata perintah tersebut dikategorikan Isim, seperti Shah! dan Hayyahal!
Kalimah Huruf dapat dibedakan dengan
Kalimah-Kalimah yang lain, yaitu Kalimat selain yang dapat menerima
tanda Kalimah Isim dan tanda Kalimat Fi’il, atau Kalimat yang tidak bisa
menerima tanda-tanda Kalimat Isim dan Fi’il. Kemudian dicontohkannya
dengan Lafad هل, في, dan لم , ketiga contoh Kalimat Huruf tsb
menunjukkan penjelasan bahwa Kalimat Huruf terbagi menjadi dua :
1.1. Kalimah Huruf Ghair Mukhtash (Tidak Khusus), bisa masuk pada Kalimat Isim, juga bisa masuk pada Kalimat Fi’il. Contoh هل :
هَلْ زَيْدٌ قَائِمٌ وَهَلْ قَامَ زَيْدٌ
Apakah Zaid orang yg berdiri? Dan apakah Zaid telah berdiri?
Lafadz “HAL” yang pertama masuk pada Kalimat Isim dan “HAL” yang kedua masuk pada Kalimat Fi’il.
1.2. Kalimat Huruf Mukhtash (Khusus), khusus masuk pada Kalimat Isim contoh في, dan khusus masuk pada Kalimat Fiil contoh لم :
لَمْ يَقُمْ زَيْدٌ فِي الدَّارِ
Zaid tidak berdiri di dalam Rumah.
2. Pembagian Kalimah Fi’il dan Ciri-Cirinya
Bait diatas juga menenerangkan bahwa
Kalimah Fi’il terbagi menjai Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari’ dan Fi’il Amar
berikut ciri masing-masing.
2.1. Dikatakan Fi’il Mudhori apabila pantas dimasuki لم contoh :
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan
2.2. Dikatakan Fi’il Madhi apabila pantas dimasuki Ta’ Fa’il dan Ta’ Ta’nits Sakinah contoh :
قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي
Balqis berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku”
2.3. Dikatakan Fi’il Amar apabila bentuknya menunjukkan perintah dan pantas menerima Nun Taukid contoh :
أَكْرِمَنَّ الْمِسْكِين
Sungguh hormatilah orang miskin !
Apabila ada kalimah
yang menunjukkan kata perintah tapi tidak pantas menerima Nun Taukid,
maka kalimah tersebut digolongkan “Isim Fi’il” seperti lafadz حيهل
menyuruh terima, dan lafadz صه menyuruh diam, Contoh :
صَهْ إذَا تَكَلَّمَ غَيْرُكَ
Diamlah ! jika orang lain berbicara
صه dan حيهل keduanya
disebut kalimat Isim sekalipun menunjukkan tanda perintah, perbedaannya
adalah dalam hal tidak bisanya menerima Nun Taukid. Oleh karena itu
tidak bisa dilafadzkan صهن atau حيهلن
- Ref. http://nahwusharaf.wordpress.com
- Pdf Teks Alfiyah : Nadzom Alfiyyah Ibnu Malik
Alfiyah Bait 11. Tanda Kalimat Fi’il : Ta’ Fail, Ta’ Ta’nits Sukun, Ya’ Fail, Nun Taukid.
September 17, 2010بِتَا فَعَلْتَ وَأَتَتْ وَيَا افْعَلِي ¤ وَنُوْنِ أَقْبِلَنَّ فِعْـــلٌ يَنْجَلِي
Dengan tanda Ta’ pada lafadz Fa’alta dan lafadz Atat, dan Ya’ pada lafadz If’ali, dan Nun pada Lafadz Aqbilanna, Kalimah Fi’il menjadi jelas.
Bait ini menjelaskan bahwa Kalimat Fi’il
dibedakan dari Kalimah Isim dan Kalimah Huruf, dengan beberapa
tanda-tanda pengenalnya sebagaimana disebutkan dalam bait syair, yaitu:
1. Ta’ Fail
Ta’ dalam contoh فَعَلْتَ dimaksudkan adalah Ta’ Fail mancakup:
Ta’ Fail untuk Mutakallim, Ta’ berharkat Dhommah contoh :
ضَرَبْتُ زَيْداً
Aku memukul Zaid.
Ta’ Fail untuk Mukhatab, Ta’ berharkat Fathah contoh:
ضَرَبْتَ زَيْداً
Engkau (seorang laki-laki) memukul Zaid.
Ta’ Fail untuk Mukhatabah, Ta’ berharkat Kasroh contoh:
ضَرَبْتِ زَيْداً
Engkau (seorang perempuan ) memukul Zaid.
2. Ta’ Ta’nits Sukun
Ta’ dalam contoh lafadz اَتَتْ Maksudnya adalah Ta’ Ta’nits yang Sukun. Contoh :
ضَرَبَتْ زَيْداً
Dia (seorang perempuan) memukul Zaid.
Menyebut Ta’ Ta’nits
Sukun untuk membedakan dengan Ta’ Ta’nits yang tidak sukun yang bisa
masuk kepada Kalimat Isim dan Kalimat Hururf
Bisa masuk pada Kalimat Isim contoh :
هِيَ مُسْلِمَةٌ
Dia seorang Muslimah.
Bisa masuk kepada kalimat Huruf contoh:
وَلاَتَ حِينَ مَنَاصٍ
Ketika itu tidak ada tempat pelarian.
3. Ya’ Fa’il
Ya’ dalam contoh lafadz افْعَلِيْ dimaksudkan adalah Ya’ Fail mancakup :
Ya’ Fa’il pada Fi’il Amar. Contoh:
اضْرِبِيْ
Pukullah wahai seorang perempuan!
Ya’ Fa’il pada Fi’il Mudhori’, contoh:
تَضْرِبِيْنَ زَيْداً
Engkau (seorang perempuan) akan memukul Zaid.
Menyebut Ya’ If’aliy
atau Ya’ Fail, dan tidak menyebut Ya’ Dhomir dikarenakan termasuk Ya’
Dhomir Mutakallim yang tidak Khusus masuk kepada Fi’il tapi bisa masuk
kepada semua Kalimat contoh:
سَأَلَنِيْ اِبْنِيْ عَنِّيْ
Anakku menanyaiku tentang aku.
4. Nun Taukid
Nun dalam contoh lafadz أقْبِلَنَّ dimaksudkan adalah Nun Taukid mancakup:
Nun Taukid Khofifah tanpa Tansydid contoh:
لَنَسْفَعَنْ بِالنَّاصِيَةِ
Sungguh akan Kami tarik ubun-ubunnya.
Nun Taukid Tsaqilah memakai Tansydid contoh :
لَنُخْرِجَنَّكَ يَا شُعَيْبُ
Sunggah kami akan mengeluarkanmu wahai Syu’aib.
URL Ref. http://nahwusharaf.wordpress.comPdf Teks Alfiyah : Nadzom Alfiyyah Ibnu Malik
Alfiyah Bait 10. Tanda Kalimat Isim : Jar, Tanwin, Nida’, Al, Musnad
Agustus 19, 2010بِالجَرِّ وَالتّنْوِيْنِ وَالنِّدَا وَاَلْ ¤ وَمُسْنَدٍ لِلإسْمِ تَمْيِيْزٌ حَصَلْ
Dengan sebab Jar, Tanwin, Nida’, Al, dan Musnad, tanda pembeda untuk Kalimat Isim menjadi berhasil.
Pada Bait ini, Mushannif menyebutkan
tentang Tanda-tanda Kalimat Isim (Kata Benda). Sebagai ciri-cirinya
untuk membedakan dengan Kalimat yang lain (Kalimat Fi’il/Kata Kerja dan
Kalimat Huruf/Kata Tugas). Diantaranya adalah : Jar, Tanwin, Nida’, Al
(Alif dan Lam) dan Musnad.
1. Jarrجر
Tanda Kalimat Isim yang pertama adalah Jar, mencakup: Jar sebab Harf, Jar sebab Idhafah dan Jar sebab Tabi’. Contoh:
مَرَرْتُ بغُلاَمِ زَيْدٍ الفَاضِلِ
Aku berjumpa dengan Anak Lelakinya Zaid yang baik itu.
Lafadz غلام dikatakan Jar sebab Harf (dijarkan oleh Kalimah Huruf), Lafadz زيد dikatakan Jar sebab Idhafah (menjadi Mudhaf Ilaih), dan Lafadz الفاضل
dikatakan Jar sebab Tabi’ (menjadi Na’at/Sifat). Hal ini menunjukkan
bahwa perkataan Mushannif lebih mencakup dari Qaul lain yang mengatakan
bahwa tanda Kalimat Isim sebab Huruf Jarr, karena ini tidak mengarah
kepada pengertian Jar sebab Idhafah dan Jar sebab Tabi’.
2. Tanwin
تنوين
Tanda Kalimat Isim yang kedua
adalah Tanwin. Tanwin adalah masdar dari Lafadz Nawwana yang artinya
memberi Nun secara bunyinya bukan tulisannya. Sebagai tanda baca yang
biasanya ditulis dobel ( اً-اٍ-اٌ ). Di dalam Ilmu Nahwu, Tanwin terbagi
empat macam:
21. Tanwin Tamkin :
yaitu Tanwin standar yang pantas disematkan kepada Kalimat-kalimat Isim
yang Mu’rab selain Jamak Mu’annats Salim dan Isim yang seperti lafadz
جوار dan غواش (ada pembagian khusus). Contoh: زيد dan رجل di dalam
contoh :
جَاءَ زَيْدٌ هُوَ رَجُلٌ
Zaid telah datang dia seorang laki-laki
22. Tanwin Tankir: yaitu
Tanwin penakirah yang pantas disematkan kepada Kalimat-kalimat Isim
Mabni sebagai pembeda antara Ma’rifahnya dan Nakirahnya. Seperti
Sibawaeh sang Imam Nahwu (yang Makrifah) dengan Sibawaeh yang lain (yang
Nakirah). Contoh:
مَرَرْتُ بِسِبَوَيْهِ وَبِسِبَوَيْهٍ آخَرَ
Aku telah berjumpa dengan Sibawaeh (yang Imam Nahwu) dan Sibawaeh yang lain.
23. Tanwin Muqabalah:
yaitu Tanwin hadapan yang pantas disematkan kepada Isim Jamak Mu’annats
Salim (Jamak Salim untuk perempuan). Karena statusnya sebagai hadapan
Nun dari Jamak Mudzakkar Salimnya (Jamak Salim untuk laki-laki). Contoh:
أفْلَحَ مُسْلِمُوْنَ وَمُسْلِمَاتٌ
Muslimin dan Muslimat telah beruntung.24. Tanwin ‘Iwadh: atau Tanwin Pengganti, ada tiga macam:
24.1 Tanwin Pengganti Jumlah : yaitu Tanwin yang pantas disematkan kepada Lafadz إذ sebagai pengganti dari Jumlah sesudahnya. Contoh Firman Allah:
وَأنْتُمْ حِيْنَئِذٍ تَنْظًرُوْنَ
Kalian ketika itu sedang melihat.
Maksudnya ketika nyawa sampai di kerongkongan. Jumlah kalimat ini dihilangkan dengan mendatangkan Tanwin sebagai penggantinya.
24.2 Tanwin Pengganti Kalimah Isim: yaitu Tanwin yang pantas disematkan kepada Lafadz كل sebagai pengganti dari Mudhaf Ilaihnya. Contoh:
كَلٌّ قَائِمٌ
Semua dapat berdiri.
Maksudnya Semua manusia dapat berdiri. Kata manusia sebagai Mudhaf Iliahnya dihilangkan dan didatangkanlah Tanwin sebagai penggantinya.
24.3 Tanwin Pengganti Huruf :
yaitu Tanwin yang pantas disematkan kepada lafadz جوار dan غواش dan
lain-lain sejenisnya, pada keadaan I’rab Rafa’ dan Jarrnya. Contoh:
هَؤُلاَءِ جَوَارٍ. وَمَرَرْتُ بِجَوَارٍ
Mereka itu anak-anak muda. Aku berjumpa dengan anak-anak muda.
Pada kedua lafadz جوار asal bentuknya جواري kemudian Huruf Ya’ nya dibuang didatangkanlah Tanwin sebagai penggantinya.
Pembagian macam-macam Tanwin yang telah
disebutkan di atas, merupakan Tanwin yang khusus untuk tanda Kalimat
Isim. Itulah yang dmaksudkan dari kata Tanwin dalam Bait tsb, yaitu
Tanwin Tamkin, Tanwin Tankir, Tanwin Muqabalah dan Tanwin ‘Iwadh.
Adapun Tanwin Tarannum/Taronnum dan
Tanwin Ghali, yaitu Tanwin yang pantas disematkan kepada Qofiyah atau
kesamaan bunyi huruf akhir dalam bait-bait syair Bahasa Arab. Tidak
dikhususkan untuk Kalimat Isim saja, tapi bisa digunakan untuk Kalimat
Fi’il dan juga untuk Kalimat Harf.
3. Nida’
نداء
Tanda Kalimat Isim yang ketiga adalah
Nida’. Yaitu memanggil dengan menggunakan salah satu kata panggil atau
Huruf Nida’ berupa يا dan saudara-saudaranya. Huruf Nida dikhususkan
kepada Kalimat Isim karena Kalimat yang jatuh sesudah Huruf Nida’
(Munada) statusnya sebagai Maf’ul Bih. Sedangkan Maf’ul Bih hanya
terjadi kepada Kalimat Isim saja. Contoh:
يَا رَسُوْلَ اللهِ
Wahai Utusan Allah.4. AL (Alif Lam)
أل
Tanda Kalimat Isim yang keempat berupa AL
أل atau Alif dan Lam. Yaitu AL yang fungsinya untuk mema’rifatkan dan
AL Zaidah. Contoh:
رَجَعَ الرَجُلُ مِنَ المَكَّةَ
Orang laki-laki itu telah pulang dari kota Mekkah.
AL pada Lafadz الرَجُلُ dinamakan AL
Ma’rifat, sedang AL pada Lafadz المَكَّةَ dinamakan AL Zaidah. Sedangkan
AL yang selain disebut di atas, tidak khusus masuk kepada Kalimat Isim.
seperti AL Isim Maushul yang bisa masuk kepada Kalimat Fi’il Mudhori’,
dan AL Huruf Istifham yang bisa masuk kepada Fi’il Madhi.
5. Musnad
مسند
Tanda Kalimat Isim yang kelima adalah
Musnad. Artinya yang disandar atau menurut Istilah yang dihukumi dengan
suatu hukum. Contoh:
قَاَمَ زَيْدٌ وَ زَيْدٌ قَائِمٌ
Zaid telah berdiri dan Zaid adalah orang yang berdiri.
Kedua Lafadz زيد pada
contoh di atas merupakan Musnad atau yang dihukumi dengan suatu hukum,
yaitu hukum berdiri. Hukum berdiri pada lafadz Zaid yang pertama adalah
Kata Kerja dam Hukum berdiri untuk Lafadz Zaid yang kedua adalah
Khabar.(***)
Ref. http://nahwusharaf.wordpress.comIlmu Nahwu / Sharaf : Alfiyah Bait 8-9. Pengertian Kalam, Kalim, Qaul dan Kalimat
Agustus 9, 2010الْكَلاَمُ وَمَا يَتَألَّفُ مِنْهُ
Bab Kalam dan Sesuatu yang Kalam tersusun darinyaكَلاَمُــنَا لَفْــظٌ مُفِيْدٌ كَاسْــتَقِمْ ¤ وَاسْمٌ وَفِعْلٌ ثُمَّ حَرْفٌ الْكَلِمْ
Kalam (menurut) kami (Ulama Nahwu) adalah lafadz yang memberi pengertian. Seperti lafadz “Istaqim!”. Isim, Fi’il dan Huruf adalah (tiga personil) dinamakan Kalim.وَاحِدُهُ كَلِمَةٌ وَالْقَوْلُ عَمْ ¤ وَكَلْمَةٌ بِهَا كَلاَمٌ قَدْ يُؤمْ
Tiap satu dari (personil Kalim) dinamakan Kalimat. Adapun Qaul adalah umum. Dan dengan menyebut Kalimat terkadang dimaksudkan adalah Kalam.
KALAM
Definisi Kalam menurut Istilah Ulama Nahwu adalah Sebutan untuk Lafadz yang memberi pengertian satu faedah yaitu baiknya diam. Sehingga yang berkata dan yang mendengar mengerti tanpa timbul keiskalan.
- Lafadz adalah nama jenis yang mencakup Kalam, Kalim, atau Kalimat, termasuk yang Muhmal (tidak biasa dipakai) ataupun yang Musta’mal (biasa dipakai) contoh perkataan Muhmal: دَيْزٌ Daizun, tidak mempunyai arti. Contoh perkataan Musta’mal عَمْرٌو ‘Amrun, ‘Amr nama orang.
- Mufid (yang memberi pengertian) untuk mengeluarkan Lafdz yang Muhmal, atau hanya satu Kalimat, atau Kalim yang tersusun dari tiga kalimat atau lebih tapi tidak memberi pengertian faedah baiknya diam, seperti Lafadz: اِنْ قَامَ زَيْدٌ Apabila Zaid berdiri.
Susunan Kalam pada dasarnya Cuma ada dua:
1. ISIM + ISIM, 2. FI’IL + ISIM. Contoh pertama: زيد قائم Zaid orang yg
berdiri. Contoh kedua قام زيد Zaid telah berdiri. Sebagaimana contoh
Kalam yang disebutkan oleh Mushannif pada baris baitnya, yaitu lafadz
استقم ISTAQIM! Artinya: berdirilah! Pada lafadz ini terdiri dari Fiil
‘Amar dan Isim Fa’il berupa Dhomir Mustatir (kata ganti yang disimpan)
FI’IL + ISIM takdirnya adalah استقم أنت ISTAQIM ANTA, artinya:
berdirilah kamu! maka contoh ini memenuhi criteria untuk disebut Kalam
yaitu lafadz yang memberi pengertian suatu faidah. Sepertinya Mushannif
mendefinisikan kalam pada bait syairnya sebagai berikut: Kalam adalah
Lafadz yang memberi pengertian suatu faidah seperti faidahnya lafadz
استقم.
KALIM
Adalah nama jenis yang setiap satu
bagiannya disebut kalimat, yaitu: Isim, Fi’il dan Huruf. Jika Kalimat
itu menunjukkan suatu arti pada dirinya sendiri tanpa terikat waktu,
maka Kalimat tsb dinamakan KALIMAT ISIM. Jika Kalimat itu menunjukkan
suatu arti pada dirinya sendiri dengan menyertai waktu, maka Kalimat tsb
dinamakan KALIMAT FIIL. Jika Kalimat itu tidak menunjukkan suatu arti
pada dirinya sendiri, melainkan kepada yang lainnya, maka Kalimat tsb
dinamakan KALIMAT HURUF. Walhasil Kalim dalam Ilmu Nahwu adalah susunan
dari tiga kalimat tsb atau lebih, baik berfaidah ataupun tidak misal: إن
قام زيد jika Zaid telah berdiri.
KALIMAT
Adalah lafadz yang mempunyai satu makna
yang biasa dipakai. Keluar dari definisi Kalimat adalah lafadz yang
tidak biasa dipakai semisal دَيْزٌ Daizun. Juga keluar dari definisi
Kalimat yaitu lafadz yang biasa dipakai tapi tidak menunjukkan satu
makna, semisal Kalam.
QAUL
Adalah mengumumi semua, maksudnya
termasuk Qaul adalah Kalam, Kalim juga Kalimat. Ada sebagian ulama yang
memberi dalih, bahwa asal mula pemakaian Qaul untuk Lafadz yang mufrad.
Selanjutnya Mushannif menerangkan bahwa
menyebut Kalimat terkadang yang dimaksudkan adalah kalam. Seperti lafadz
لا إله إلا الله Orang Arab menyebut Kalimat Ikhlash atau Kalimat
Tahlil.
Sebutan Kalam dan Kalim, terkadang
keduanya singkron saling mencocoki satu sama lain, dan terkadang tidak.
Contoh yang mencocoki keduanya: قد قام زيد Zaid benar-benar telah
berdiri. contoh tersebut dinamakan Kalam karena memberi pengertian,
mempunyai faidah baiknya diam. Dan juga dinamakan Kalim karena tersusun
dari ketiga personil Kalimat. Contoh hanya disebut Kalim: إن قام زيد
Apabila Zaid berdiri. Dan contoh hanya disebut Kalam: زيد قائم Zaid
orang yang berdiri.
Muqoddimah Alfiyah Ibnu Malik (Bait 1-7)
Januari 16, 2010بسم الله الرحمن الرحيم
مقدمة
قال محمد هو ابن مالك # احمد ربي الله خير مالك
Muhammad anak lelakinya Malik berkata # Aku memuji Allah Tuhanku Sebaik-baiknya Raja.
مصليا على الرسول المصطفى # و ا له المستكملين الشرفا
Dengan membaca sholawat atas Rasul yang Terpilih # dan keluarganya yaitu orang-orang yang sempurna lagi mulia.
واستعين الله في الفية # مقاصد النحو بها محوية
Dan aku minta tolong pada Allah didalam menyusun Kitab Alfiyah # yang denganya , maksud-maksud ilmu nahwu telah tercakup.
تفرب الأقصى بلفظ موجز # وتبسط البذل بوعد منجز
(Alfiyah)
mendekatkan/menjangkau pengertian yang jauh/mendalam dengan lafazh yang
singkat # dan meluaskan pemberian/pemahaman yang banyak dengan janji
yang kontan (waktu yang cepat).
وتقتضى رضا بغير سخط # فائقة ألفية ابن المعطى
Maka ia
menuntut keridhoan tanpa kemarahan (ketekunan dan kesabaran dalam
mempelajarinya) # Ia telah mencakup Kitab Alfiyah karangan Ibn Mu’thi.
وهو بسبق حائز تفضيلا # مستوجب ثنائي الجميلا
Dan sebab lebih dulu sebetulnya beliaulah yang berhaq memperoleh keutamaan # dan mewajibkan pujian baiku (untuknya).
والله يقضى بهبات وافرة # لي وله في درجات الأخرة
Semoga Allah menetapkan pemberian-pemberian yang sempurna # untuku dan untuknya didalam derajat-derajat akhirat.
—————
Ref. :
- http://umarein.yolasite.com/alfiyah
- Hasyiyah Al-Alamah Ibnu Hamdun ‘Ala Syarah Al-Makudie Li Alfiyah Ibnu Maalik ; h-8.
Profile : Ibnu Malik, dan Kitab Alfiyahnya
September 14, 2009
Ibnu Malik, nama lengkapnya adalah Syeikh Al-Alamah Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah ibnu Malik al-Thay,
lahir di Jayyan. Daerah ini sebuah kota kecil di bawah kekuasaan
Andalusia (Spanyol). Pada saat itu, penduduk negeri ini sangat cinta
kepada ilmu, dan mereka berpacu dalam menempuh pendidikan, bahkan
berpacu pula dalam karang-mengarang buku-buku ilmiah. Pada masa kecil,
Ibn Malik menuntut ilmu di daerahnya, terutama belajar pada Syaikh
Al-Syalaubini (w. 645 H). Setelah menginjak dewasa, ia berangkat ke
Timur untuk menunaikan ibadah haji,dan diteruskan menempuh ilmu di
Damaskus. Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara
lain Al-Sakhawi (w. 643 H). Dari sana berangkat lagi ke Aleppo, dan
belajar ilmu kepada Syaikh Ibn Ya’isy al-Halaby (w. 643 H).
Di kawasan dua kota ini nama Ibn Malik
mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuan, karena cerdas dan
pemikirannya jernih. Ia banyak menampilkan teori-teori nahwiyah yang
menggambarkan teori-teori mazhab Andalusia, yang jarang diketahui oleh
orang-orang Syiria waktu itu. Teori nahwiyah semacam ini, banyak diikuti
oleh murid-muridnya, seperti imam Al-Nawawi, Ibn al-Athar, Al-Mizzi,
Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jama’ah. Untuk
menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Eropa ini, senantiasa
mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak
didapatkan, ia menyajikan teks Al-Hadits. Kalau tidak didapatkan lagi,
ia mengambil saksi dari sya’ir-sya’ir sastrawan Arab kenamaan. Semua
pemikiran yang diproses melalui paradigma ini dituangkan dalam
kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazhom (syair puitis) atau
berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karangan tokoh ini lebih baik
dan lebih indah dari pada tokoh-tokoh pendahulunya.
Di antara ulama, ada yang menghimpun
semua tulisannya, ternyata tulisan itu lebih banyak berbentuk nazham.
Demikian tulisan Al-Sayuthi dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at. Di antara
karangannya adalah Nazhom al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757
bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang Ilmu Nahwu dan Shorof
yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas
menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyah Ibn Malik.
Kitab ini bisa disebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip
inti uraian dari Al-Kafiyah, dan bisa juga disebut Alfiyah (ribuan)
karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Kitab ini terdiri dari
delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait.
Bab yang terpendek diisi oleh dua bait
seperti Bab al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir
karena diisi empat puluh dua bait. Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang
memakai Bahar Rojaz ini disusun dengan maksud (1) menghimpun semua
permasalahan nahwiyah dan shorof yang dianggap penting. (2) menerangkan
hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat , tetapi sanggup
menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan sebuah contoh yang bisa
menggambarkan satu persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu.(3)
membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya.
Semua itu terbukti, sehingga kitab ini lebih baik dari pada Kitab
Alfiyah karya Ibn Mu’thi. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai
Ibnu Mu’thi karena tokoh ini membuka kreativitas dan lebih senior. Dalam
Islam, semua junior harus menghargai seniornya, paling tidak karena dia
lebih sepuh, dan menampilkan kreativitas.
Kitab Khulashoh yang telah diterjemahkan
ke dalam banyak bahasa di dunia ini, memiliki posisi yang penting dalam
perkembangan Ilmu Nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibn
Malik menjadi popular, dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama,
termasuk ulama yang mengembangkan ilmu di Timur. Al-Radli, seorang
cendekiawan besar ketika menyusun Syarah Al-Kafiyah karya Ibn Hajib,
banyaklah mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata
lain, perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademisi Abbasiyah
di Baghdad, dan merosotnya para ilmuan Daulat Fathimiyah di Mesir, maka
para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik. Sebelum
kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya, tidak
banyak diminati oleh masyarakat. Tetapi setelah lama, pelajaran ini
menjadi kebutuhan dan dinamislah gerakan karang-mengarang kitab tentang
ilmu yang menarik bagi kaum santri ini. Di sana beredarlah banyak
karangan yang beda-beda, dari karangan yang paling singkat sampai
karangan yang terurai lebar. Maksud penulisnya ingin menyebarkan ilmu
ini, kepada masyarakat, dan dapat diambil manfaat oleh kaum pelajar.
Dari sekian banyak itu, muncullah Ibn Malik, Ibn Hisyam, dan al-Sayuthi.
Karangan mereka tentang kitab-kitab nahwu banyak menampilkan metoda
baru dan banyak menyajikan trobosan baru, yang memperkaya khazanah
keilmuan. Mereka tetap menampilkan khazanah keilmuan baru, meskipun
banyak pula teori-teori lama yang masih dipakai. Dengan kata lain,
mereka menampilkan gagasan dan kreatifitas yang baru, seolah-olah hidup
mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih (Penggagas
munculnya Nahwu dan Shorof, red.). Atas dasar itu, Alfiyah Ibn Malik
adalah kitab yang amat banyak dibantu oleh ulama-ulama lain dengan
menulis syarah (ulasan) dan hasyiyah (catatan pinggir) terhadap syarah
itu.
Dalam kitab Kasyf al-Zhunun, para ulama
penulis Syarah Alfiyah berjumlah lebih dari empat puluh orang. Mereka
ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat
(mukhtashar), dan ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Di
sela-sela itu muncullah beberapa kreasi baru dari beberapa ulama yang
memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah.
Syarah Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibn Malik
sendiri, Muhammad Badruddin (w.686 H). Syarah ini banyak mengkritik
pemikiran nahwiyah yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang
uraian maf’ul mutlaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Kritikannya itu
aneh tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang.
Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil
syahid dari ayat al-Qur’an. Disitu tampak rasional juga, tetapi hampir
semua ilmuan tahu bahwa tidak semua teks al-Qur’an bisa disesuaikan
dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama.
Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini, sangat
rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori
nahwiyah yang syadz Karena itu, penulis-penulis Syarah Alfiyah yang
muncul berikutnya, seperti Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak
meralat alur pemikiran putra Ibn Malik tadi. Meskipun begitu, Syarah
Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang
menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibn Jama’ah (w.819 H), Al-‘Ainy
(w.855 H), Zakaria al-Anshariy (w.191 H), Al-Sayuthi (w.911 H), Ibn
Qasim al-Abbadi (w.994 H), dan Qadli Taqiyuddin ibn Abdulqadir
al-Tamimiy (w.1005 H).
Di antara penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya, yang bisa ditampilkan dalam tulisan ini, adalah Al-Muradi, Ibn Hisyam, Ibn Aqil, dan Al-Asymuni.
Al-Muradi (w. 749 H) menulis dua
kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyah, keduanya
karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak popular di Indonseia, tetapi
pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain. Antara lain
Al-Damaminy (w. 827 H) seorang sastrawan besar ketika menulis syarah
Tashil al-Fawaid menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan.
Begitu pula Al-Asymuni ketika menyusun Syarah Alfiyah dan Ibn Hisyam
ketika menyusun Al-Mughni banyak mengutip pemikiran al-Muradi yang
muridnya Abu Hayyan itu.
Ibn Hisyam (w.761 H) adalah ahli
nahwu raksasa yang karya-karyanya banyak dikagumi oleh ulama
berikutnya. Di antara karya itu Syarah Alfiyah yang bernama Audlah
al-Masalik yang terkenal dengan sebutan Audlah . Dalam kitab ini ia
banyak menyempurnakan definisi suatu istilah yang konsepnya telah
disusun oleh Ibn Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak
menertibkan kaidah-kaidah yang antara satu sama lain bertemu, seperti
kaidah-kaidah dalam Bab Tashrif. Tentu saja, ia tidak hanya terpaku oleh
Mazhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufa, Bashrah dan
semacamnya. Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang
menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Al-Sayuthi, Hasyiyah Ibn
Jama’ah, Ha-syiyah Putera Ibn Hisyam sendiri, Hasyiyah Al-Ainiy,
Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah Al-Sa’di al-Maliki al-Makki, dan yang
menarik lagi adalah catatan kaki ( ta’liq ) bagi Kitab al-Taudlih yang
disusun oleh Khalid ibn Abdullah al-Azhari (w. 905 H).
Adapun Ibn Aqil (w. 769 H)
adalah ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar
di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah
Alfiyah. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang
pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan
bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang
dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Penulis berpendapat, bahwa
kitab ini adalah Syarah Alfiyah yang paling banyak beredar di
pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri di
Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis
hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah
al-Ajhuri, Hasyiyah al-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlariy.
Syarah Alfiyah yang hebat lagi adalah
Manhaj al-Salik karya Al-Asymuni (w. 929 H). Syarah ini sangat kaya akan
informasi, dan sumber kutipannya sangat bervariasi. Syarah ini dapat
dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan
berbagai pendapat mazhab dengan argumentasinya masing-masing. Dalam
syarah ini, pendapat para penulis Syarah Alfiyah sebelumnya banyak
dikutip dan dianalisa. Antara lain mengulas pendapat Putra Ibn Malik,
Al-Muradi, Ibn Aqil, Al-Sayuthi, dan Ibn Hisyam, bahkan dikutip pula
komentar Ibn Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah ,
tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah . Semua kutipan-kutipan itu
diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis,
sehingga para pembaca mudah menyelusuri suatu pendapat dari sumber
aslinya.
Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga,
antara lain : Hasyiyah Hasan ibn Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad ibn
Umar al-Asqathi, Hasyiyah al-Hifni, dan Hasyiyah al-Shabban. Dalam
muqaddimah hasyiyah yang disebut akhir ini, penulisnya mencantumkan
ulasan, bahwa metodanya didasarkan atas tiga unsur, yaitu (a)
Karangannya akan merangkum semua pendapat ulama nahwu yang mendahului
penulis, yang terurai dalam kitab-kitab syarah al-Asymuni. (b)
Karangannya akan mengulas beberapa masalah yang sering menimbulkan salah
faham bagi pembaca. (c) Menyajikan komentar baru yang belum ditampilkan
oleh penulis hasyiyah sebelumnya. Dengan demikian, kitab ini bisa
dinilai sebagai pelengkap catatan bagi orang yang ingin mempelajari
teori-teori ilmu nahwu dan shorof. ***(Iqbal1. Berbagai Sumber).
Ilmu Nahwu : Sejarah Asal (Ilmu) Nahwu
September 1, 2009
Seperti halnya
bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah tersendiri
di dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa
komunikasi atau informasi.
Lalu, bagaimana sebenarnya awal mula
terbentuknya kaidah-kaidah ini, dan kenapa dikatakan dengan istilah
nahwu?. Simak artikel berikut.
Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan
orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang
lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh
yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka,
di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari
orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang dan menyebar ke
negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang
non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa
Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya
menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa
Arab menjadi hilang. Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan
kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang
bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga
muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari
kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.
Adapun orang yang pertama kali menyusun
kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas
dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib, KW.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari
Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan
anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke
langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang.
Kemudian ia berkata,
مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ
“Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya.
Kemudian sang ayah mengatakan,
نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ
“Wahai anakku, Bintang-bintangnya”.
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan,
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan,
اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ
“Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”.
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah,
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah,
مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ
“Betapa indahnya langit”. Bukan,
مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ
“Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah…
****
Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali,
ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia
mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan,
أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ
Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata
rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya
Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah,
أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul
Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi
rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut
terjadi di awal mula daulah Islam.
Kemudian hal ini disadari oleh khalifah
Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat
pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran),
kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin
Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali,
اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ
“Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah).
Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan
tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai
terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali
inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin
‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan
penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu
nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah
Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan
Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua
mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka
membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah awal terbentuknya
ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali
bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Referensi : Al-Qowaaidul Asaasiyyah Lil Lughotil Arobiyyah
Klik PDF : Cikal-Bakal-Kelahiran-Ilmu-Nahwu-Kholisin
Humor Santri : Masuk Surga Karena Ilmu Nahwu
Juli 10, 2009
As-sibawaih
yang memiliki nama asli Amr ibn Abbas adalah salah satu tokoh ulama
yang menguasai berbagai disiplin ilmu terutama ilmu tata bahasa Arab
yang dikenal dengan nama Nahwu. Beberapa hari setelah meninggalnya ulama
yang dikenal sebagai orang yang tubuhnya mengeluarkan aroma buah apel
ini, salah seorang sahabat beliau bermimpi bertemu dengannya yang tengah
menikmati kemegahan di alamnya.
Sang Sahabat melihat Imam Sibawaih sedang memakai pakaian yang sangat mewah dengan hidangan beraneka warna disekitarnya serta dikelilingi oleh beberapa bidadari rupawan di sebuah tempat yang sangat indah mempesona.Sahabat itupun bertanya kepada Imam Sibawaih, gerangan apa yang membuatnya menerima kemulyaan begitu rupa. Imam Sibawaih kemudian menceritakan pengalamannya ketika ditanya oleh malaikat di dalam kubur.
Ketika malaikat sudah menanyakan pertanyaan-pertanyaan kubur yang seluruhnya dapat dijawab dengan baik, malaikat bertanya kepadanya :
“Tahukah anda, perbuatan apa yang telah membuat anda bisa menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan kami tadi?”
“Apakah karena ibadah saya?” Imam Sibawaih mencoba menebak.
“Bukan itu!” kata Malaikat.
“Apakah karena ilmu saya?”
“Bukan itu!”
“Apakah karena karangan-karangan saya?”
“Bukan!”
”Berbagai jawaban yang diberikan oleh Imam Sibawaih tidak ada yang dibenarkan oleh Malaikat.
Hingga akhirnya Imam Sibawaih menyerah karena tidak mengetahui jawaban sebenarnya.
“Allah SWT telah menyelamatkan anda sehingga anda dapat menjawab pertanyaan kubur dengan baik adalah karena pendapat anda yang menyatakan bahwa yang paling ma’rifat dari semua isim ma’rifat adalah lafazh jalalah”. Kata Malaikat menerangkan.
Sang Sahabat melihat Imam Sibawaih sedang memakai pakaian yang sangat mewah dengan hidangan beraneka warna disekitarnya serta dikelilingi oleh beberapa bidadari rupawan di sebuah tempat yang sangat indah mempesona.Sahabat itupun bertanya kepada Imam Sibawaih, gerangan apa yang membuatnya menerima kemulyaan begitu rupa. Imam Sibawaih kemudian menceritakan pengalamannya ketika ditanya oleh malaikat di dalam kubur.
Ketika malaikat sudah menanyakan pertanyaan-pertanyaan kubur yang seluruhnya dapat dijawab dengan baik, malaikat bertanya kepadanya :
“Tahukah anda, perbuatan apa yang telah membuat anda bisa menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan kami tadi?”
“Apakah karena ibadah saya?” Imam Sibawaih mencoba menebak.
“Bukan itu!” kata Malaikat.
“Apakah karena ilmu saya?”
“Bukan itu!”
“Apakah karena karangan-karangan saya?”
“Bukan!”
”Berbagai jawaban yang diberikan oleh Imam Sibawaih tidak ada yang dibenarkan oleh Malaikat.
Hingga akhirnya Imam Sibawaih menyerah karena tidak mengetahui jawaban sebenarnya.
“Allah SWT telah menyelamatkan anda sehingga anda dapat menjawab pertanyaan kubur dengan baik adalah karena pendapat anda yang menyatakan bahwa yang paling ma’rifat dari semua isim ma’rifat adalah lafazh jalalah”. Kata Malaikat menerangkan.
(Imam Asy-Syarwani dalam mukadimahnya Hawasyi Asy-Syarwani)
Ref. ; Sidogiri.net ; NU-Online
Ref. ; Sidogiri.net ; NU-Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar