Senin, 14 Juli 2014

Bab ‘Adad (Bilangan/Hitungan)

–·•Ο•·–

العدد

Bab ‘Adad (Bilangan/Hitungan)

ثَلَاثَةً بِالتَّاءِ قُلْ لِلعشَرَهْ ¤ فِي عَدِّ مَا آحَادُهُ مُذَكّرَهْ

Ucapkan angka Tsalatsatun (tiga) sampai ‘Asyarotun (sepuluh) dg menggunakan Ta’ didalam menghitung sesuatu yg mufrodnya Mudzakkar. 

في الضِّدِّ جَرِّدْ وَالْمُمَيِّزَ اجْرُرِ ¤ جَمْعاً بِلَفْظِ قِلَّةٍ فِي الأكْثَرِ

Sebaliknya buanglah Ta’nya (pada mufrod ma’dud muannats). Jarkanlah! Lafazh Mumayyiz/Ma’dud yg jamak qillah pada kebanyakannya (daripada yg jamak katsrohnya). 

وَمِائَةً وَالأَلْفَ لِلْفَرْدِ أضِفْ ¤ وَمِائَةٌ بِالجَمْعِ نَزْراً قَدْ رُدِفْ

Terhadap angka Mi’atun (seratus) dan Alfun (seribu) mudhafkan pada Isim Mufrod. Dan angka Mi’atun (seratus) jarang diikuti oleh Jamak (jarang dimudhafkan pada jamak). 
–·•Ο•·–
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa Isim Adad (kata bilangan/hitungan) menurut istilah Ulama’ Nahwu terbagi menjadi 4 bagian.
1. “Adad Mufrad”
Adalah Isim Adad yg kosong dari Tarkib dan ‘Athaf. Yaitu bilangan dari Wahidun (satu) sampai ‘Asyarotun (sepuluh), Bidh’un (sejumlah antara 3-9), Mi’atun (seratus), dan Alfun (seribu).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mudhaf” karena dapat dimudhafkan pada Tamyiznya/Ma’dudnya, yang selain wahidun (satu) dan Itsnani (dua).
2. “Adad Murakkab”
Adalah Isim Adad susunan dua bilangan menjadi satu dengan susunan Tarkib Mazji. Yaitu bilangan dari Ahada ‘Asyaro (sebelas) sampai Tis’ata ‘Asyaro (Sembilan belas).
3. “Adad ‘Aqd”
Adalah Isim Adad puluhan/kelipatan sepuluh. Yaitu bilangan dari ‘Isyruuna (dua puluh) sampai Tis’uuna (sembilan puluh).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mufrod” karena tidak Mudhaf juga tidak Murokkab.
4. “Adad Ma’thuf”
Adalah Isim Adad susunan Athaf. Yaitu bilangan yg ada diantara dua Adad Aqd (angka yg ada diantara 20>…<30, 30>…<40, dst.). Contoh Wahidun wa ‘Isyruuna (dua puluh satu), Itsnaani wa Isyruuna (dua puluh dua), dst. Hingga Tis’atun wa Tis’uuna (sebilan puluh Sembilan).
Insyaallah 4 bagian diatas akan diterangkan menurut penerangan Kitab Alfiyah pada tiga bahasan sebagai berikut:
  • Hukum Mudzakkar&Muannatsnya
  • Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya
  • Hukum I’robnya
I. ‘ADAD MUFROD
A. WAHIDUN (SATU) dan ITSNAANI (DUA)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : harus mencocoki pada Ma’dudnya.
Contoh:

في القرية مسجد واحد

FIL-QORYATI MASJIDUN WAAHIDUN = Di desa itu hanya ada satu masjid.

في القرية مدرسة واحدة

FIL-QORYATI MADROSATUN WAAHIDATUN = Di desa itu hanya ada satu Madrasah.

اشتريت كتابين اثنين

ISYTAROITU KITAABAINI ITSNAINI = Aku telah membeli dua kitab.

اشتريت كراستين اثنتين

ISYTAROINI RURROOSATAINI ITSNAINI = Aku telah membeli dua buku tulis.
II. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya : harus disebutkan setelah ma’dudnya seperti contoh-contoh diatas. Dan tidak boleh menyebutkan ma’dud sebelumnya, maka tidak boleh mengatakan :

في القرية واحدُ مسجدٍ

FIL-QORYATI WAAHIDU MASJIDIN.

اشتريت اثني كتابين

ISYTAROITU ITSNAIY KITAABAINI.
Karena cukup penyebutan ma’dud secara langsung sudah mencukupi jumlah yg dimaksud (mufrad/mutsanna = satu/dua). Maka tidak perlu untuk menyebut ‘adad pada sebelum ma’dudnya.
III. Hukum I’robnya : disesuaikan menurut posisinya pada susunan kalam. Sedangkan I’rob ma’dudnya mengikuti irob ‘adad sebelumnya yakni sebagai Tabi’ Taukid.
B. TSALATSATUN (TIGA) sampai ‘ASYAROTUN (SEPULUH) dan BIDH’UN/BIDH’ATUN (sejumlah 3-9)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : kebalikan dari ma’dudnya, yakni dimudzakkarkan apabila ma’dudnya mu’annats, dan dimuannatskan apabila ma’dudnya mudzakkar,.
Contoh :

عندي سبعةُ رجال

INDIY SAB’ATU RIJAALIN = disisiku tujuh pria.

عندي ثلاثُ نسوةٍ

INDIY TSALAATSU NISWATIN = disisiku tiga wanita.

صافحت بضعة رجال

SHOOFAHTU BIDH’ATA RIJAALIN = aku berjabat tangan dengan beberapa pria.

نصحت بضع نساء

NASHOHTU BIDH’A NISAA’IN = aku menasehati beberapa wanita.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا

SAKHKHOROHAA ‘ALAIHIM SAB’A LAYAALIN WA TSAMAANIYATA AYYAAMIN HUSUUMAN = yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus (QS Al-Haaqqah : 7)
>> lafazh LAYAALIN = Ma’dud mu’annats karena mufrodnya LAILATIN, maka menggunakan ‘adad mudzakkar SAB’A.
>> lafazh AYYAAMIN = Ma’dud mudzakkar karena mufrodnya YAUMIN, maka menggunakan ‘adad muannats TSAMAANIYATA.

فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ

FA SYAHAADATU AHADIHIM ARBA’U SYAHAADAATIN = maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah (QS. An-Nuur : 6)

ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ

TSUMMA LAM YA’TUU BI ARBA’ATI SYUHADAA’A = dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi (QS. An-Nuur : 4)
>> lafazh SYAHADAATIN = ma’dud mu’annats karena mufrodnya SAHAADATIN, maka menggunakan ‘adad mudzakkar ARBA’U.
>> lafazh SYUHADAA’A = ma’dud mudzakkar karena mufrodnya SYAAHIDUN/SYAHIIDUN, maka menggunakan ‘adad mu’annats ARBA’ATI.
Dengan demikian, yang dipandang mudzakkar dan muannatsnya dalam hal ini bukan pada bentuk lafazh jamaknya, akan tetapi yg dipandang adalah bentuk isim mufrodnya. contohnya lagi :

جاء خمسة فتية

JAA’A KHOMSATU FITYATIN = lima orang pemuda telah datang.
>> Lafazh “FITYATIN” mempunyai bentuk mufrod “FATAA” adalah ma’dud mudzakkar, makanya menggunakan ‘adad mu’annats (KHOMSATU). Tidaklah memandang bentuk lafazh jamaknya yg mu’annats (FITYATIN).
Apabila terdapat dua ma’dud dalam satu ‘adad. Yang satu mudzakkar dan yg lain muannats, maka yg dipandang muannats dan mudzakkarnya adalah pada ma’dud yg disebut pertama kali.
Contoh:

حضر سبعة رجال ونساء

HADHORO SAB’ATU RIJAALIN WA NISAA’IN = tujuh orang pria dan wanita telah hadir.

وأقبل خمس نساءٍ ورجال

AQBALA KHOMSATU NISAA’IN WA RIJAALIN = lima orang wanita dan pria telah menghadap.
Akan berbeda nanti hukum mudzakkar dan mu’annatsnya apabila adad-adad mufrad tersebut diatas dibentuk menjadi ‘Adad Murokkab atau ‘Adad Ma’thuf yg insyaAllah akan dijelaskan pada bait-bait selanjutnya.
II. Hukum I’robnya : disesuaikan menurut posisinya pada susunan kalam.
III. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya :
A. Dijadikan mudhaf ilaih dg susunan idhofah, yakni memudhofkan adad kepada ma’dud yg dibutuhkan sebagai tamyiznya, seperti pada contoh-contoh diatas. Dan terkadang tidak dimudhofkan kepada tamyiznya tapi cukup dimudhofkan langsung kepada siempunya tamyiz/ma’dud. Kerena dalam hal ini si pembicara sudah memaklumi akan jenis/bentuk ma’dud. Sehingga tidak perlu ditamyizi. Semisal contoh:

هذه خمسةُ محمد

HADZIHI KHOMSATU MUHAMMADIN = ini adalah limanya Zaid (yakni, ini lima barang punya zaid)

خذ سبعتك

KHUDZ! SAB’ATAKA = ambillah! Tujuhmu. (yakni, ambilah tujuh barangmu)
B. Ma’dudnya berbentuk jamak, yg sering digunakan adalah dalam bentuk Jamak Taksir Qillah. Dan diketahui juga bahwa maksud jamak dalam ma’dud di sini tidak harus berupa bentuk jamak dalam istilah, tapi juga bisa masuk kepada semua jenis isim yg menunjukkan jamak, seperti Isim Jamak dan Isim Jinsi Jam’i, yg dalam penggunaannya banyak menyertakan huruf jar MIN. contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ

FA KHUDZ! ARBA’ATAN MINATH-THOIRI = ambillah empat ekor burung (QS. Al-Baqoroh : 260)

جاء ثلاثة من القوم

JAA’A TSALAATSATUN MINAL QOUMI = telah datang tiga kaum.

في المزرعة سبع من النخل وتسع من الشجر

FIL MAZRO’ATI SAB’UN MINAN-NAKHLI WA TIS’UN MINAS-SYAJARI = di ladang itu ada tujuh pohon kurma dan Sembilan pepohonan.
Terkadang juga langsung disusun secara idhofah. Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ

WA KAANA FIL-MADIINATI TIS’ATU ROHTHIN = Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki (QS. An-naml:48).
Yang berbeda dengan tiga hal diatas dalam hukum penggunaan ma’dudnya yakni : 1. Jamak. 2. Jamak Taksir. 3. Jamak Taksir Qillah. Adalah :
1. Menggunakan bentuk isim mufrod, apabila adad-adad tersebut diatas bertamyiz pada lafazh MI’ATUN. Contoh :

في المعهد ثلثمائة طالب وأربعمائة مقعد

FIL-MA’HADI TSALATSUMI’ATI THOOLIBIN WA ARBA’UMI’ATI MAQ’ADIN = di lembaga itu ada 300 siswa dan 400 bangku.
2. Menggunakan bentuk jamak shohih, apabila tidak terdapat dalam bentuk jamak taksirnya. Contoh:

خمس صلوات

KHOMSU SHOLAWAATIN = lima sholat.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ

ALLAHUL-LADZII KHOLAQO SAB’A SAMAAWAATIN WA MINAL-ARDHI MITSLAHUNNA = Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi (QS. Ath-Tholaaq : 12)
>> Lafazh “SAMAWAATIN” = menggunakan jamak shohih (jamak muannats salim) karena tidak mempunyai bentuk jamak lain selain itu.

ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَّكُمْ

TSALAATU ‘AUROOTIN = tiga ‘aurat bagi kamu (QS. An-Nur : 58)
>> lafazh “‘AUROOTIN” = jamak shohih sebab juga tidak ada dalam bentuk jamak taksirnya.
Demikian juga menggunakan jamak shohih, apabila bentuk jamak taksirnya jarang digunakan. Semisal contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

فِي تِسْعِ آيَاتٍ

FII TIS’I AAYAATIN = termasuk sembilan buah mukjizat (QS. An-Naml : 12)
>> lafazh “AAYAATIN” = jamak shohih dari “AAYATIN” ditemukan dari bangsa arab menggunakan jamak taksirnya yaitu AAYUN tapi tidak banyak digunakan (lihat Al-Mishbahul Munir hal. 23).
Demikian juga menggunakan bentuk jamak shohih apabila digunakan bersamaan dengan jamak yg tidak ada bentuk jamak taksirnya, seperti contoh:

يُوسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيقُ أَفْتِنَا فِي سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعِ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَاتٍ

YUUSUFU AYYUHASH-SHIDDIIQU AFTINAA FII SAB’I BAQOROOTIN SIMAANIN YA’KULUHUNNA SAB’UN ‘IJAAFUN WA SAB’I SUNBULAATIN KHUDHRIN WA UKHORU YAABISAATIN = (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering (QS. Yusuf : 46)
>> lafazh SAB’I “SUNBULAATIN” = menggunakan jamak shohih karena berdampingan dengan lafazh sebelumnya yaitu SAB’I “BAQOROOTIN” yg tidak diketahui bentuk jamak taksirnya.
Sedangkan apabila tidak berdampingan dengan jamak shohih yg tidak ada bentuk jamak taksirnya, maka menggunakan bentuk jamak taksirnya yaitu “SANAABILA”, contoh dalam Ayat :

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ

MATSALUL-LADZIINA YANFIQUUNA AMWAALAHUM FII SABIILILLAAHI KAMATSALI HUBBATIN ANBATAT SAB’A SANAABILA FII KULLI SUNBULATIN MA’ATU HABBAH. = Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. (QS. Al-Baqoro : 261).
3. Tetap menggunakan bentuk Jamak Taksir Katsroh sekalipun ada dalam bentuk Jamak Taksi Qillahnya, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

WAL-MUTHOLLAQOOTU YATAROBBASHNA BI ANFUSIHINNA TSALAATSATA QURUU’IN = Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (QS. Al-Baqoroh : 228)
>> ‘Adad TSALAATSATA dimudhofkan kepada ma’dudnya lafazh “QURUU’IN” yg berupa Jamak Taksir Katsroh, beserta ia mempunyai bentuk Jamak Taksir Qillah yaitu “AQROO’IN”.
C. MI’ATUN (SERATUS) dan ALFUN (SERIBU)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : Tetap dalam bentuknya baik ma’dudnya Mudzakkar atau Mu’annats.
II. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya : Pada umumnya harus berupa Isim Mufrod yg dijarkan menjadi mudhaf ilaih.
Contoh :

قلَّ من يعيش مائة سنةٍ

QOLLA MA YA’IISYU MI’ATA SANATIN = Jarang orang yg hidup seratus tahun.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

AZZAANIYATU WAZ-ZAANIY FAJLIDUU KULLA WAAHIDIN MINHUMAA M’ATA JALDATIN = Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (QS. An Nuur : 2)

يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ

YAWADDU AHADUHUM LAW YU’AMMARU ALFA SANATIN = Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun (QS. Al-Baqarah : 96)
Terkadang menggunakan ma’dud/tamyiz bentuk jamak majrur dari ‘adad MI’ATUN, contoh dalam Ayat AL-Qur’an :

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا

WA LABITSUU FIY KAHFIHIM TSALAATSA MI’ATIN SINIINA WAZDAADUU TIS’AN = Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). (QS. Al-Kahfi 25).
>> karena dalam ayat ini oleh bacaan salah satu qiro’ah sab’ah (Hamzah dan Al-Kasa’iy) memudhofkan lafazh MI’ATIN pada lafazh SINIINA menjadi “MI’ATI SINIINA”.

Bab ‘Adad (Bilangan/Hitungan)

·•Ο•·
Bilangan/Hitungan dalam Bahasa Arab (‘Adad dan Ma’dud/Tamyiz-nya, Mudzakkar dan Mu’annats-nya, Mufrad dan Jamak-nya) » Alfiyah Bait 726-723-724


العدد

Bab ‘Adad (Bilangan/Hitungan)

ثَلَاثَةً بِالتَّاءِ قُلْ لِلعشَرَهْ ¤ فِي عَدِّ مَا آحَادُهُ مُذَكّرَهْ

Ucapkan angka Tsalatsatun (tiga) sampai ‘Asyarotun (sepuluh) dg menggunakan Ta’ didalam menghitung sesuatu yg mufrodnya Mudzakkar. 

في الضِّدِّ جَرِّدْ وَالْمُمَيِّزَ اجْرُرِ ¤ جَمْعاً بِلَفْظِ قِلَّةٍ فِي الأكْثَرِ

Sebaliknya buanglah Ta’nya (pada mufrod ma’dud muannats). Jarkanlah! Lafazh Mumayyiz/Ma’dud yg jamak qillah pada kebanyakannya (daripada yg jamak katsrohnya). 

وَمِائَةً وَالأَلْفَ لِلْفَرْدِ أضِفْ ¤ وَمِائَةٌ بِالجَمْعِ نَزْراً قَدْ رُدِفْ

Terhadap angka Mi’atun (seratus) dan Alfun (seribu) mudhafkan pada Isim Mufrod. Dan angka Mi’atun (seratus) jarang diikuti oleh Jamak (jarang dimudhafkan pada jamak). 
–·•Ο•·–
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa Isim Adad (kata bilangan/hitungan) menurut istilah Ulama’ Nahwu terbagi menjadi 4 bagian.
1. “Adad Mufrad”
Adalah Isim Adad yg kosong dari Tarkib dan ‘Athaf. Yaitu bilangan dari Wahidun (satu) sampai ‘Asyarotun (sepuluh), Bidh’un (sejumlah antara 3-9), Mi’atun (seratus), dan Alfun (seribu).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mudhaf” karena dapat dimudhafkan pada Tamyiznya/Ma’dudnya, yang selain wahidun (satu) dan Itsnani (dua).
2. “Adad Murakkab”
Adalah Isim Adad susunan dua bilangan menjadi satu dengan susunan Tarkib Mazji. Yaitu bilangan dari Ahada ‘Asyaro (sebelas) sampai Tis’ata ‘Asyaro (Sembilan belas).
3. “Adad ‘Aqd”
Adalah Isim Adad puluhan/kelipatan sepuluh. Yaitu bilangan dari ‘Isyruuna (dua puluh) sampai Tis’uuna (sembilan puluh).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mufrod” karena tidak Mudhaf juga tidak Murokkab.
4. “Adad Ma’thuf”
Adalah Isim Adad susunan Athaf. Yaitu bilangan yg ada diantara dua Adad Aqd (angka yg ada diantara 20>…<30, 30>…<40, dst.). Contoh Wahidun wa ‘Isyruuna (dua puluh satu), Itsnaani wa Isyruuna (dua puluh dua), dst. Hingga Tis’atun wa Tis’uuna (sebilan puluh Sembilan).
Insyaallah 4 bagian diatas akan diterangkan menurut penerangan Kitab Alfiyah pada tiga bahasan sebagai berikut:
  • Hukum Mudzakkar&Muannatsnya
  • Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya
  • Hukum I’robnya
I. ‘ADAD MUFROD
A. WAHIDUN (SATU) dan ITSNAANI (DUA)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : harus mencocoki pada Ma’dudnya.
Contoh:

في القرية مسجد واحد

FIL-QORYATI MASJIDUN WAAHIDUN = Di desa itu hanya ada satu masjid.

في القرية مدرسة واحدة

FIL-QORYATI MADROSATUN WAAHIDATUN = Di desa itu hanya ada satu Madrasah.

اشتريت كتابين اثنين

ISYTAROITU KITAABAINI ITSNAINI = Aku telah membeli dua kitab.

اشتريت كراستين اثنتين

ISYTAROINI RURROOSATAINI ITSNAINI = Aku telah membeli dua buku tulis.
II. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya : harus disebutkan setelah ma’dudnya seperti contoh-contoh diatas. Dan tidak boleh menyebutkan ma’dud sebelumnya, maka tidak boleh mengatakan :

في القرية واحدُ مسجدٍ

FIL-QORYATI WAAHIDU MASJIDIN.

اشتريت اثني كتابين

ISYTAROITU ITSNAIY KITAABAINI.
Karena cukup penyebutan ma’dud secara langsung sudah mencukupi jumlah yg dimaksud (mufrad/mutsanna = satu/dua). Maka tidak perlu untuk menyebut ‘adad pada sebelum ma’dudnya.
III. Hukum I’robnya : disesuaikan menurut posisinya pada susunan kalam. Sedangkan I’rob ma’dudnya mengikuti irob ‘adad sebelumnya yakni sebagai Tabi’ Taukid.
B. TSALATSATUN (TIGA) sampai ‘ASYAROTUN (SEPULUH) dan BIDH’UN/BIDH’ATUN (sejumlah 3-9)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : kebalikan dari ma’dudnya, yakni dimudzakkarkan apabila ma’dudnya mu’annats, dan dimuannatskan apabila ma’dudnya mudzakkar,.
Contoh :

عندي سبعةُ رجال

INDIY SAB’ATU RIJAALIN = disisiku tujuh pria.

عندي ثلاثُ نسوةٍ

INDIY TSALAATSU NISWATIN = disisiku tiga wanita.

صافحت بضعة رجال

SHOOFAHTU BIDH’ATA RIJAALIN = aku berjabat tangan dengan beberapa pria.

نصحت بضع نساء

NASHOHTU BIDH’A NISAA’IN = aku menasehati beberapa wanita.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا

SAKHKHOROHAA ‘ALAIHIM SAB’A LAYAALIN WA TSAMAANIYATA AYYAAMIN HUSUUMAN = yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus (QS Al-Haaqqah : 7)
>> lafazh LAYAALIN = Ma’dud mu’annats karena mufrodnya LAILATIN, maka menggunakan ‘adad mudzakkar SAB’A.
>> lafazh AYYAAMIN = Ma’dud mudzakkar karena mufrodnya YAUMIN, maka menggunakan ‘adad muannats TSAMAANIYATA.

فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ

FA SYAHAADATU AHADIHIM ARBA’U SYAHAADAATIN = maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah (QS. An-Nuur : 6)

ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ

TSUMMA LAM YA’TUU BI ARBA’ATI SYUHADAA’A = dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi (QS. An-Nuur : 4)
>> lafazh SYAHADAATIN = ma’dud mu’annats karena mufrodnya SAHAADATIN, maka menggunakan ‘adad mudzakkar ARBA’U.
>> lafazh SYUHADAA’A = ma’dud mudzakkar karena mufrodnya SYAAHIDUN/SYAHIIDUN, maka menggunakan ‘adad mu’annats ARBA’ATI.
Dengan demikian, yang dipandang mudzakkar dan muannatsnya dalam hal ini bukan pada bentuk lafazh jamaknya, akan tetapi yg dipandang adalah bentuk isim mufrodnya. contohnya lagi :

جاء خمسة فتية

JAA’A KHOMSATU FITYATIN = lima orang pemuda telah datang.
>> Lafazh “FITYATIN” mempunyai bentuk mufrod “FATAA” adalah ma’dud mudzakkar, makanya menggunakan ‘adad mu’annats (KHOMSATU). Tidaklah memandang bentuk lafazh jamaknya yg mu’annats (FITYATIN).
Apabila terdapat dua ma’dud dalam satu ‘adad. Yang satu mudzakkar dan yg lain muannats, maka yg dipandang muannats dan mudzakkarnya adalah pada ma’dud yg disebut pertama kali.
Contoh:

حضر سبعة رجال ونساء

HADHORO SAB’ATU RIJAALIN WA NISAA’IN = tujuh orang pria dan wanita telah hadir.

وأقبل خمس نساءٍ ورجال

AQBALA KHOMSATU NISAA’IN WA RIJAALIN = lima orang wanita dan pria telah menghadap.
Akan berbeda nanti hukum mudzakkar dan mu’annatsnya apabila adad-adad mufrad tersebut diatas dibentuk menjadi ‘Adad Murokkab atau ‘Adad Ma’thuf yg insyaAllah akan dijelaskan pada bait-bait selanjutnya.
II. Hukum I’robnya : disesuaikan menurut posisinya pada susunan kalam.
III. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya :
A. Dijadikan mudhaf ilaih dg susunan idhofah, yakni memudhofkan adad kepada ma’dud yg dibutuhkan sebagai tamyiznya, seperti pada contoh-contoh diatas. Dan terkadang tidak dimudhofkan kepada tamyiznya tapi cukup dimudhofkan langsung kepada siempunya tamyiz/ma’dud. Kerena dalam hal ini si pembicara sudah memaklumi akan jenis/bentuk ma’dud. Sehingga tidak perlu ditamyizi. Semisal contoh:

هذه خمسةُ محمد

HADZIHI KHOMSATU MUHAMMADIN = ini adalah limanya Zaid (yakni, ini lima barang punya zaid)

خذ سبعتك

KHUDZ! SAB’ATAKA = ambillah! Tujuhmu. (yakni, ambilah tujuh barangmu)
B. Ma’dudnya berbentuk jamak, yg sering digunakan adalah dalam bentuk Jamak Taksir Qillah. Dan diketahui juga bahwa maksud jamak dalam ma’dud di sini tidak harus berupa bentuk jamak dalam istilah, tapi juga bisa masuk kepada semua jenis isim yg menunjukkan jamak, seperti Isim Jamak dan Isim Jinsi Jam’i, yg dalam penggunaannya banyak menyertakan huruf jar MIN. contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ

FA KHUDZ! ARBA’ATAN MINATH-THOIRI = ambillah empat ekor burung (QS. Al-Baqoroh : 260)

جاء ثلاثة من القوم

JAA’A TSALAATSATUN MINAL QOUMI = telah datang tiga kaum.

في المزرعة سبع من النخل وتسع من الشجر

FIL MAZRO’ATI SAB’UN MINAN-NAKHLI WA TIS’UN MINAS-SYAJARI = di ladang itu ada tujuh pohon kurma dan Sembilan pepohonan.
Terkadang juga langsung disusun secara idhofah. Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ

WA KAANA FIL-MADIINATI TIS’ATU ROHTHIN = Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki (QS. An-naml:48).
Yang berbeda dengan tiga hal diatas dalam hukum penggunaan ma’dudnya yakni : 1. Jamak. 2. Jamak Taksir. 3. Jamak Taksir Qillah. Adalah :
1. Menggunakan bentuk isim mufrod, apabila adad-adad tersebut diatas bertamyiz pada lafazh MI’ATUN. Contoh :

في المعهد ثلثمائة طالب وأربعمائة مقعد

FIL-MA’HADI TSALATSUMI’ATI THOOLIBIN WA ARBA’UMI’ATI MAQ’ADIN = di lembaga itu ada 300 siswa dan 400 bangku.
2. Menggunakan bentuk jamak shohih, apabila tidak terdapat dalam bentuk jamak taksirnya. Contoh:

خمس صلوات

KHOMSU SHOLAWAATIN = lima sholat.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ

ALLAHUL-LADZII KHOLAQO SAB’A SAMAAWAATIN WA MINAL-ARDHI MITSLAHUNNA = Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi (QS. Ath-Tholaaq : 12)
>> Lafazh “SAMAWAATIN” = menggunakan jamak shohih (jamak muannats salim) karena tidak mempunyai bentuk jamak lain selain itu.

ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَّكُمْ

TSALAATU ‘AUROOTIN = tiga ‘aurat bagi kamu (QS. An-Nur : 58)
>> lafazh “‘AUROOTIN” = jamak shohih sebab juga tidak ada dalam bentuk jamak taksirnya.
Demikian juga menggunakan jamak shohih, apabila bentuk jamak taksirnya jarang digunakan. Semisal contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

فِي تِسْعِ آيَاتٍ

FII TIS’I AAYAATIN = termasuk sembilan buah mukjizat (QS. An-Naml : 12)
>> lafazh “AAYAATIN” = jamak shohih dari “AAYATIN” ditemukan dari bangsa arab menggunakan jamak taksirnya yaitu AAYUN tapi tidak banyak digunakan (lihat Al-Mishbahul Munir hal. 23).
Demikian juga menggunakan bentuk jamak shohih apabila digunakan bersamaan dengan jamak yg tidak ada bentuk jamak taksirnya, seperti contoh:

يُوسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيقُ أَفْتِنَا فِي سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعِ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَاتٍ

YUUSUFU AYYUHASH-SHIDDIIQU AFTINAA FII SAB’I BAQOROOTIN SIMAANIN YA’KULUHUNNA SAB’UN ‘IJAAFUN WA SAB’I SUNBULAATIN KHUDHRIN WA UKHORU YAABISAATIN = (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering (QS. Yusuf : 46)
>> lafazh SAB’I “SUNBULAATIN” = menggunakan jamak shohih karena berdampingan dengan lafazh sebelumnya yaitu SAB’I “BAQOROOTIN” yg tidak diketahui bentuk jamak taksirnya.
Sedangkan apabila tidak berdampingan dengan jamak shohih yg tidak ada bentuk jamak taksirnya, maka menggunakan bentuk jamak taksirnya yaitu “SANAABILA”, contoh dalam Ayat :

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ

MATSALUL-LADZIINA YANFIQUUNA AMWAALAHUM FII SABIILILLAAHI KAMATSALI HUBBATIN ANBATAT SAB’A SANAABILA FII KULLI SUNBULATIN MA’ATU HABBAH. = Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. (QS. Al-Baqoro : 261).
3. Tetap menggunakan bentuk Jamak Taksir Katsroh sekalipun ada dalam bentuk Jamak Taksi Qillahnya, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

WAL-MUTHOLLAQOOTU YATAROBBASHNA BI ANFUSIHINNA TSALAATSATA QURUU’IN = Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (QS. Al-Baqoroh : 228)
>> ‘Adad TSALAATSATA dimudhofkan kepada ma’dudnya lafazh “QURUU’IN” yg berupa Jamak Taksir Katsroh, beserta ia mempunyai bentuk Jamak Taksir Qillah yaitu “AQROO’IN”.
C. MI’ATUN (SERATUS) dan ALFUN (SERIBU)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : Tetap dalam bentuknya baik ma’dudnya Mudzakkar atau Mu’annats.
II. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya : Pada umumnya harus berupa Isim Mufrod yg dijarkan menjadi mudhaf ilaih.
Contoh :

قلَّ من يعيش مائة سنةٍ

QOLLA MA YA’IISYU MI’ATA SANATIN = Jarang orang yg hidup seratus tahun.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

AZZAANIYATU WAZ-ZAANIY FAJLIDUU KULLA WAAHIDIN MINHUMAA M’ATA JALDATIN = Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (QS. An Nuur : 2)

يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ

YAWADDU AHADUHUM LAW YU’AMMARU ALFA SANATIN = Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun (QS. Al-Baqarah : 96)
Terkadang menggunakan ma’dud/tamyiz bentuk jamak majrur dari ‘adad MI’ATUN, contoh dalam Ayat AL-Qur’an :

وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا

WA LABITSUU FIY KAHFIHIM TSALAATSA MI’ATIN SINIINA WAZDAADUU TIS’AN = Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi). (QS. Al-Kahfi 25).
>> karena dalam ayat ini oleh bacaan salah satu qiro’ah sab’ah (Hamzah dan Al-Kasa’iy) memudhofkan lafazh MI’ATIN pada lafazh SINIINA menjadi “MI’ATI SINIINA”.

Latihan membuat Khobar dengan Alladzi sebagai Mubtada’nya » Alfiyah Bait 817-818-819

28 Mei 2012 22 komentar
–••Ο••–

الإخبار بالذي والألف واللام

Bab Membuat Khobar dengan ALLADZII atau ALIF LAM  

مَا قِيلَ أخْبِرْ عَنْهُ بِالَّذيْ خَبَرْ  ¤  عَنِ الَّذي مُبْتَدأ قَبْلُ اسْتَقَرْ

Suatu yg dipertanyakan dg soal: “Buatkanlah khobar darinya dengan Alladzi!” adalah (membuat) Khobar dari Mubtada’ Alladzi yg menetapi sebelumnya  

وَمَا سِواهُمَا فَوَسِّطْهُ صِلَهْ  ¤  عَائِدُهَا خَلَفُ مُعْطِيْ التَّكْمِلَهْ

Lafazh selain keduanya (selain Alladzi dan Khobarnya) letakkanlah ditengah-tengah sebagai Shilah, dan ‘Aidnya adalah pengganti Isim pemberi penyempurna (yakni ‘Aid Dhamir yg menggantikan posisi Isim yg dibuat khabar sang penyempurna faidah). 

نَحْوُ الَّذِيْ ضَرَبْتُهُ زَيْدٌ فَذَا  ¤  ضرَبْتُ زَيْداً كَانَ فَادْرِ الْمَأخَذَا

Seperti contoh: “Alladzii dhorobtuhuu Zaidun” maka ini hasil dari rupa kalimat: “Dhorobtu Zaidan”. Maka fahamilah (qiyaskanlah) dasar pengambilannya  

وَباللَّذَيْنَ وَالَّذِينَ وَالَّتي  ¤  أَخْبِرْ مُرَاعِياً وِفَاقَ الْمُثْبتِ

Juga buatkan khabar dengan Alladzaini, Alladziina dan Allatiy, seraya mempertimbangkan kecocokan terhadap lafazh yg ditetapkan (yakni, kecocokan antara Aid Dhamir Shilah Maushul dengan Isim yg ditetapkan menjadi Khobar). 
–••Ο••–
Bab ini dicantumkan oleh Ulama Nahwu sebagai latihan bagi siswa dalam ilmu Nahwu, sebagaimana mereka membuat Bab Abniyah untuk melatih siswa dalam tamrin ilmu Shorof.
Bab ini digunakan sebagai ujian khusus, atau sebagai penguatan hukum atas pengetahuan siswa akan ilmu nahwu, karena disini juga mencakup pemusnadan pada isim Dhamir dan isim Zhahir. atau sebagai latihan ringkas atas kecakapan siswa dan semacamnya.
Apabila kamu ditanyakan dengan contoh soal berikut :
Butkan khobar dari kata KHALIDUN dengan Isim Maushul ALLADZI pada kalimat berikut :

خالد منطلق

KHALIDUN MUNTHALIQUN = Khalid Pergi
Maka untuk menjawab gunakan metode 5 langkah sbb :
1. Gunakan isim maushul yg sesuai dg pertanyaan (Khalidun), dan letakkan di awal kalimat sebagai mubtada’.
2. Letakkan kata yg ditanyakan (Khalidun) pada akhir kalimat, karena akan dibuat Khobar.
3. Merofa’kan kata yg ditanyakan (Khalidun) karena menjadi Khobar.
4. Kata yg lain (Munthaliqun) diletakkan di tengah-tengah antara Isim Maushul dan Khabarnya, sebagai Shilah Maushul.
5. Memasang Dhamir/A’id pada posisi kata yg dipertanyakan dan menyesuaikannya baik Maknanya dan I’robnya, sekaligus menyesuaikan dengan Isim Maushul sebagai ‘Aid Shilahnya.
Maka jawabannya adalah :

الذي هو منطلق خالد

ALLADZI HUWA MUNTHALIQUN KHALIDUN = yang pergi itu adalah Khalid
Contoh pertanyaan lagi berikut menggunakan Isim Mutsanna :
Buatkan khobar dari kata AL-MUHAMMADAINI pada kalimat berikut :

أكرمت المحمدين

AKROMTU AL-MUHAMMADAINI = aku menghormati kedua Muhammad itu.
Maka jawabannya :

اللذان أكرمتهما المحمدان

ALLADZAANI AKROMTUHUMAA AL-MUHAMMADAANI = yang aku hormati itu adalah kedua Muhammad.
Contoh jawaban jika pertanyaannya menggunakan kata Jamak :

الذين أكرمتهم المحمدون

ALLADZIINA AKROMTUHUM AL-MUHAMMADUUNA = yang aku hormati itu adalah mereka Muhammad.
Contoh jawaban untuk kata Mu’annats :

التي أكرمتها هند

ALLATI AKROMTUHAA HINDUN = yang aku hormati itu adalah Hindun.
Dan qiyaskan pada contoh pertanyaan yg lain.
PERHATIAN !
Tentang Al-Mukhbar ‘Anhu (isim yg dikhobari) dalam ilmu Nahwu pada Bab ini adalah isim yg dijadikan khobar dari Isim maushul yg dijadikan Mubtada’nya.
Dan sebaliknya menurut zhahirnya lafaz pertanyaan adalah membuat khobar dari Isim yg disebut sebagai Al-Mukhbar ‘Anhu dalam arti dari Mubtada’ yg akan dikhobari dengan Isim Maushul sebagai Khobarnya. Tidak demikian maksud pertanyaan, sebab ketika isim yg dipertanyakan tsb sebagai al-Mukhbar Anhu dari segi Makna, maka benar jika diucapkan dengan pertanyaan “IKHBAR ‘ANHU!/Buatkan khobar darinya!” yakni Khobar yg terbuat dari Isim dalam pertanyaan.

AMMAA Huruf Syarat, Taukid, Tafsil, bukan Amil Jazm » Alfiyah Bait 712-713

23 Mei 2012 3 komentar
–·•Ο•·–

أَماَّ وَلَوْلاَ وَلَوْمَا

Bab AMMAA, LAWLAA dan LAWMAA 

أَمَّا كَمَهْمَا يَكُ مِنْ شَيءٍ وَفَا ¤ لِتِلْوِ تِلْوَهَا وُجُوباً أُلِفَا

Huruf syarat “AMMAA” seperti makna “MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” (apapun yg ada/bagaimanapun). Sedangkan FA’ wajib dipasang pada yg mengiringi pengiringnya (yakni pada Jawab yg mengiringi Syaratnya). 

وَحَذْفُ ذِيْ الفَا قَلَّ فِيْ نَثْرٍ إذَا ¤ لَمْ يَكُ قَوْلٌ مَعَهَا قَدْ نُبِذَا

Pembuangan FA’ ini (yakni FA’ Jawab) jarang terjadi pada kalam natsar, (kecuali) apabila jawabnya berupa lafazh “QOUL” yg dibuang bersama FA’nya. 
–·•Ο•·–
“AMMAA” termasuk dari huruf syarat yg bukan amil jazm, berfaidah taukid dan sering dipergunakan untuk Tafsil.
· Bukti sebagai huruf syarat : Lazim menggunakan FA’ pada jawabnya.
· Bukti berfaidah taukid : sebagaimana ulama nahwu menyebutnya “harfun yu’thi al-kalaama fadhla taukiidin” yakni huruf yg berfaidah melebihkan kalam dengan nilai taukid, contoh kalimat “ZAIDUN DZAAHIBUN” kalau dikehendaki zaid sudah pasti perginya maka diucapkan dengan kalimat “AMMAA ZAIDUN FA DZAAHIBUN”.
· Bukti sering dipergunakan untuk tafsil : diulang-ulangnya pada tiap-tiap bagian tafsilannya, contoh dalam Al-Qur’an (QS. Adh-Dhuha 9-10)

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ

FA AMMAA AL-YATIIMA FA LAA TAQHAR, WA AMMAA AS-SAA’ILA FA LAA TANHAR. = Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. (QS. Adh-Dhuha 9-10).
Terkadang tanpa diulang dengan mencukupi penyebutan AMMAA pada salah-satu bagian tafsilnya, contoh dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran 7):

فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ

FA AMMAA AL-LADZIINA FII QULUUBIHIM ZAIGHUN fa yattabi’uuna maa tasyabaha minhubtighaa’al-fitnati wab-tighaa’a ta’wiilihi wa maa ya’lamu ta’wiilahu illallaahu. WAR-ROOSIKHUUNA FIL-’ILMI YAQUULUUNA AAMANNAA BIHI = Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat… (QS. Ali Imran 7).
Ayat ini pada kalimat tafsil kedua seakan berbunyi : “AMMAA” AR-ROOSIKHUUNA FIL-’ILMI “FA” YAQUULUUNA AAMANNAA BIHI..
Terkadang penggunaan AMMAA terlewatkan tanpa fungsi Tafsil, contoh :

أما زيد فمنطلق

AMMAA ZAIDUN FA MUNTHALIQUN = Bagaimanapun… Zaid sudah pergi.
Lafazh AMMAA disini menempati posisi “Adat Syarat + Fi’il Syarat” oleh karena itu Imam Sibawaih menafsirinya dg kalimat: “MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” (apapun yg ada/bagaimanapun). sedangkan lafazh yg jatuh setelah AMMAA disebut Jawab Syarat, karena itulah diwajibkan memasang FA Jawab sebagai robit/kaitan antara Jawab dan Syarat.
Contoh apabila kamu mengucapkan :

أما علي فمخترع

AMMAA ‘ALIYYUN FA MUKHTARI’UN = Bagaimanapun… Ali lah penemunya.
Maka penakdiran asal kalimatnya adalah :

مهما يك من شيء فعلي مخترع

MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN = apapun adanya Ali lah penemunya.
I’lal Kalimat :
lafazh “AMMAA” menggantikan lafazh ” MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN” maka menjadi “AMMAA FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN” kemudian huruf FA’nya diakhirkan pada Khobar, maka menjadi ” AMMAA ‘ALIYYUN FA MUKHTARI’UN”.
Huruf FA’ tersebut wajib dipasang pada Jawab sebagai Robit Mujarrad. Tidak boleh membuang FA’ kecuali jawabnya berupa lafazh QOUL yg dibuang, maka umumnya FA’nya juga ikut dibuang, contoh dalam Al-Qur’an :

فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ: “أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ…”

FA AMMAL-LADZIINA-SWADDAT WUJUUHUHUM: “AKAFARTUM BA’DA IIMAANIKUM…” = Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman?..” (QS. Ali Imran 106)
Fa’ dan Jawab yg dibuang tersebut takdirannya adalah :

فَيُقَالُ لَهُمْ: أَكَفَرْتُم…

FA YUQOOLU LAHUM: “AKAFARTUM… = maka dikatakan kepada mereka : “Kenapa kamu kafir….”
FA YUQOOLU LAHUM = Jawab berupa Lafazh Qoul.
AKAFARTUM = Maquul/isi dari Qoul.
Lafazh Qoul dibuang dicukupi dengan adanya Maquul, dan FA’nya otomatis ikut terbuang, sesuai kaidah “Yashihhu tab’an maa laa yashihhu istiqlaalan” (shah diikutkan bagi suatu yg tidak shah dilepaskan).
Selain tersebut diatas, pembuangan FA’ pada kalam Natsar (Selain pada Lafazh QOUL yg terbuang) juga ditemukan tapi sedikit adanya.
Contoh dalam Hadits Rosulullah bersabda :

أَمَّا مُوسَى كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ إِذْ انْحَدَرَ فِي الوَادِي يُلَبِّي

أَمَّا بَعْدُ، مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ

CONTOH I’ROB

أما علي فمخترع

AMMAA ‘ALIYYUN FA MUKHTARI’UN
AMMAA = Huruf Syarat, Taukid, pengganti kalimat “Mahmaa Yaku Min Syai’in”, Mahal Rofa’ menjadi Mubtada’.
ALIYYUN = Rofa’ menjadi Mubtada’
FA MUKHTARI’UN = “Fa” sebagai Robit, “Mukhtari’un” sebagai Khobar dari Mubtada’.
Jumlah Ismiyah “Aliyyun Fa Mukhtari’un” tidak menempati mahal I’rob sebagai Jawab dari Syarat yg bukan Amil Jazem.

مهما يك من شيء فعلي مخترع

MAHMAA YAKU MIN SYAI’IN FA ‘ALIYYUN MUKHTARI’UN
MAHMAA = Isim Syarat, Amil Jazem, menjadi Mubtada’.
YAKU = Fi’il Mudhari’ Tamm diJazemkan oleh Mahmaa menjadi Fi’il Syarat.
MIN SYAI’IN = “Min” huruf Jar Zaidah, “Syai’in” menjadi Fa’il, di I’rob rofa’ dengan Dhammah yg dikira-kira dg harkat kasroh dan tercegah I’rob zahirnya karena dimasuk huruf Jar Zaidah.
FA ‘ALIYYUN = “Fa” huruf tanda jawab yg dipasang pada Jawab syarat. “Aliyyun” Mubtada’.
MUKHTARI’UN = Khobar dari mubtada.
Jumlah “Fa Aliyyun Mukhtari’un” adalah Jumlah Ismiyah dalam mahal jazem menjadi Jawab Syarat.

Definisi LAW Huruf Syarat » Alfiyah Bait 709

11 Mei 2012 3 komentar
–·•Ο•·–

فصل لو

FASAL “LAW”

لَوْ حَرْفُ شَرْطٍ في مُضِيٍّ وَيَقِلْ ¤ إيلاؤها مُسْتَقْبَلاً لكِنْ قُبِلْ

LAW sebagai huruf syarat pada zaman madhi (masa telah lalu). Dan jarang sebagai syarat pada zaman istiqbal (masa akan datang) akan tetapi ini dapat diterima (menurut konteks tujuannya). 
–·•Ο•·–
Sebelumnya perlu diketahui bahwa penggunaan LAW dalam Bahasa Arab terdapat lima makna :
1. LAW Syarthiyah (pembahasan dalam Bab ini).
2. LAW Mashdariyah (masuk pada pembahasan Huruf Maushul/Takwil Mashdar)
3. LAW Lit-Taqlil (berfaidah menyedikitkan) contoh dalam hadits Nabi saw bersabda :

بلغوا عني ولو آية

BALLIGHUU ‘ANNIY WA LAW AAYATAN = sampaikan dariku walau sekira satu ayat.

أولم ولو بشاة

AWLIM WA LAW BI SYAATIN = berwalimahlah walau dengan sekira satu kambing.
4. LAW Lit-Tamanni (harapan kosong) contoh dalam Al-Quran :

فَلَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

FA LAW ANNA KARROTAN FA NAKUUNA MINAL MUSLIMIIN = maka sekiranya kita dapat kembali sekali lagi (ke dunia) niscaya kami menjadi orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’araa’ 102).
5. LAW Lil-’Ardh (penampakan permohonan secara halus), contoh :

لو تنزل عندنا فتصيبَ خيراً

LAW TANZILU ‘INDANAA FA TASHIIBA KHAIRAN = sudilah kiranya anda mendatangi kami, maka semoga anda mendapat kabaikan.
oOo
LAW Syarthiyah termasuk dari adawat syarat yg bukan amil jazem, terbagi menjadi dua bagian :
1. LAW Syarhiyah Imtina’iyah (huruf syarat yg bersifat mengelak)
2. LAW Syartihyah Ghoiru Imtina’iyah (huruf syarat yg tidak bersifat mengelak)
LAW Syarthiyah Imtina’iyah
Law disini berfaidah mengajukan Jawab di atas Syarat yg dikemukakan. Demikian ini memastikan punya konteks Pengelakan Syarat (As-Syarthiyah al-Imtna’iyyah) sekalipun Syarat Imtina’iyah ini tidak terjadi pada kenyataannya. Sedangkan yg berbeda adalah pada dua sisi Jawabnya:
(I) Terkadang juga bersifat mengelak (Jawab Imtina’iyah): ciri-cirinya adalah apabila Syarat yg dikemukakan merupakan satu-satunya sebab dari timbulnya Jawab.
(II) Terkadang tidak bersifat mengelak (Jawab Ghair Imtina’iyah): ciri-cirinya adalah apabila Syarat yg dikemukakan bukanlah satu-satunya sebab timbulnya jawab, yakni Jawab bisa ditimbulkan oleh sebab lain bukan hanya oleh Syarat yg tercantum.
Contoh (I). Syarat dan Jawab sama-sama Imtina’iyah karena syarat adalah satu-satunya sebab dari timbulnya Jawab :

لو كانت الشمس طالعة كان النهار موجوداً

LAW KAANAT AS-SYAMSU THAALI’ATAN KAANA AN-NAHAARU MAUJUUDAN = kalau saja matahari itu terbit, maka siang itu ada.
Contoh (II). Syarat Imtina’iyah sedangkan Jawab Ghair Imtina’iyah karena syarat bukanlah satu-satunya sebab dari timbulnya Jawab :

لو ركب المسافر الطائرة لبلغ غايته

LAW ROKIBA AL-MUSAAFIRU AT-THAA’IROTA LA BALAGHA GHAAYATAHU = kalau saja musafir itu naik pesawat terbang, tentu dia sampai pada tujuannya.
Contoh (I) = Syarat Imtina’iyah dan juga Jawab Imtina’iyah, karena terbitnya matahari satu-satunya sebab adanya siang.
Contoh (II) = Syarat Imtina’iyah sedangkan Jawab Ghairu Imtina’iyah, karena naik pesawat bukanlah satu-satunya sebab sampainya pada tujuan, bisa sebab lain semisal naik motor, mobil, kapal laut dsb.
Keterangan diatas sebagai pencerahan atas ahli nuhat yg mengi’rob LAW Imtina’iyah tsb dengan sebutan “harfun imtinaa’in li imtinaa’in” (adalah huruf penolakan jawab karena penolakan syarat). Demikian masih menimbulkan pertimbangan sebab belum pasti sebagaimana pada contoh II diatas. Mungkin para Nuhat tsb memandang menurut ghalibnya. Adapun definisi yg mudah dalam menghi’rob sebagaimana yg didefinisikan oleh Imam Sibawaih “harfun yadullu ‘alaa maa kaana sa yaqo’u li wuquu’i ghoirihi” (adalah huruf yg menunjukkan atas suatu yang akan terjadi sebab perkara lain) yakni menunjukkan suatu yg bakal terjadi pada masa lalu disebabkan kemungkinan lain yg juga terjadi pada masa lalu. Contoh:

لو حضر أخوك لحضرت

LAW HADHORO AKHUUKA LA HADHORTU = kalau saja saudaramu itu hadir tentu akupun telah hadir.
Yakni kehadiranku bakal terjadi pada masa lalu itu andaikan saudaramu hadir pada masa lalu itu juga.
Dengan demikian definisi pengi’roban ala Sibawaihi tsb lebih mengena secara umum baik pada dua contoh sebelumnya (contoh I dan contoh II) diatas.
LAW Syarthiyah Ghairu Imtina’iyah
Law disini berfaidah menggantungkan Jawab (akibat) di atas Syarat (sebab) yg kemungkinan bisa terjadi ataupun tidak terjadi pada masa akan datang (mustaqbal). Dengan demikian dapat diserupakan maknanya dengan IN Syarthiyah di dalam hal hubungan ta’liq antara Jawab dan Syarat. Dan di dalam hal bahwa masa pada jumlah Syarat dan Jawabnya adalah masa mustaqbal.
Umumnya yg menjadi fi’il syarat dan fi’il jawab dari Law Ghairu Imtina’iyah ini, keduanya berupa Fi’il Mudhari’. Contoh :

لو يقدم خالد غداً لا أسافر

LAW YAQDUMU KHOOLIDUN GHADAN LAA USAAFIRU = Jikalau Khalid datang besok, maka saya tidak jadi pergi.
Dan apabilah Fiil yg mengiringi Law ghairu imtina’iyah ini berupa Fi’il Madhi maka harus ditakwil Mustaqbal. Contoh dalam Alqur’an :

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافاً خَافُواْ عَلَيْهِمْ

WALYAKHSYAL-LADZIINA LAW TAROKUU MIN KHOLFIHIM DZURRIYYATAN DHI’AAFAN KHOOFUU ‘ALAIHIM = Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. (QS. Annisaa’ 4).
Keterangan Ayat (QS. Annisaa’ 4) :
“TAROKUU” (mereka meninggal) = Fi’il Syarat berupa Fi’il Madhi yg ditakwil Fi’il Mustaqbal “YATROKUUNA”. Mengira-ngira penakwilan demikian, sebab lafazh “KHOOFUU” (mereka khawatir) sebagai Jawabnya. Yakni, kekhawatiran mereka itu terjadi sebelum mereka meninggal dunia, bukan setelah mereka meninggal dunia, yakni mustahil dalam konteks sesudah mereka mati.

Fi’il Mudhari’ Majzum oleh Amil Jawazim: LAA Nahi, LAM Amar, Huruf Syarat (IN, IDZMA), Isim Syarat (MAN, MA, MAHMA, AYYUN, MATA, AYYANA, AINA, HAITSUMA, ANNAA) لا لام إن من ما مهما أي متى أيان أين إذما حيثما أنى » Alfiyah Bait 696-697

5 Mei 2012 11 komentar
–·•Ο•·–

عوامل الجزم

Amil-amil Jazem

بِلَا وَلَامٍ طَالِباً ضَعْ جَزْمَا ¤ فِي الْفِعلِ هكَذَا بِلَمْ وَلَمَّا

Posisikan Jazem pada Fi’il Mudhari’ sebagai Tholab sebab dimasuki LAA (Nahi) atau Lam (Amar). Demikian juga jazem sebab LAM (Nafi) dan LAMMAA (Nafi) 

وَاجْزِمْ بِإنْ وَمَنْ وَمَا وَمَهْمَا ¤ أيٍّ مَتَى أيَّانَ أيْنَ إذْ مَا

Juga Jazemkan! (pada dua Fi’il) sebab IN, MAN, MAA, MAHMAA, AYYUN, MATAA, AYYAANA, AINA, IDZMAA,… 

وَحَيْثُمَا أنَّى وَحَرْفٌ إذْ مَا ¤ كَإِنْ وَبَاقِي الأَدَوَاتِ أَسْمَا

HAITSUMAA dan ANNAA. Adapun IDZMAA berupa Kalimah Huruf (Huruf Syarat) seperti halnya IN. Sedangkan Amil Jazem/Adawat Syarat sisanya (selain “Idzmaa” dan “In”) berupa Kalimah Isim (Isim Syarat). 
–·•Ο•·–
Pada Bab sebelumnya diterangkan bahwa Fi’il Mudhari mempunyai tiga I’rob ROFA, NASHAB dan JAZEM. Mengenai keterangan Rofa’ dan Nashabnya telah dibahas pada Bab I’rob Fi’il. Selanjutnya pada Bab Amil-amil jazem disini akan membahas mengenai Fi’il Mudhari’ Jazem/Majzum. Nazham Bab ini sebenarnya bagian atau Fasal dari Bab sebelumnya, karena masih tergolong dari pembahasan Bab I’rob Fi’il. Dibuatkan Bab khusus oleh Mushannif dikarenakan panjangnya pembahasannya.
Amil Jazm terbagi dua:
1. Menjazemkan satu fi’il
2. Menjazemkan dua fi’il
Amil Jazem pada satu Fi’il ada 5 :
1. Tholab
Sebagai jawab dari AMAR/NAHI sebagaimana telah dijelaskan pada Bab Irob Fi’il sebelumnya, tepatnya pada Bait ke 689-690.
2. لا LAA Tholabiyah.
Disebut LAA Nahiy, apabila diucapkan dari yg lebih tinggi kepada yg lebih rendah derajatnya, contoh dalam Al-Qur’an :

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Yaa bunayya LAA TUSYRIK billaahi innasy-syirka lazhulmun ‘azhiim = “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman 13).
Disebut LAA Du’a, apabila diucapkan dari yg lebih rendah kepada yg lebih tinggi, contoh dalam Al-Qur’an :

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Robbanaa LAA TU’AAKHIDZNAA in nasiinaa aw akhtho’naa = “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.
Disebut LAA Iltimas, jika diucapkan pada sesamanya, contoh ucapan seseorang pada teman sejawatnya :

لا تتأخر في الحضور

LAA TATA’AKHKHOR fil-hudhuuri = Jangan terlambat hadir!
3. لـ Lam Tholab
Ababila diucapkan dari yg lebih tinggi kepada yg lebih renda derajatnya maka disebut Amar, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ

LI YUNFIQ dzuu sa’atin min sa’atihi = Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. (QS Ath-Thalaq 7)
Ababila diucapkan dari yg lebih rendah kepada yg lebih tinggi derajatnya maka disebut Du’a, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

وَنَادَوْا يَا مَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ

Wa naadaw yaa maalik LI YAQDHI ‘alainaa robbuka = Mereka berseru: “Hai Malik biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.”
Ababila diucapkan pada sesamanya maka dinamakan Iltimas, contoh ucapan seseorang pada teman sejawatnya :

لتأخذْ هذا الكتاب

LI TA’KHUDZ hadzal kitaaba = Ambillah kitab ini.
Perlu diketahui bahwa harkat Lam Tholab adalah kasroh (LI). Dan jika jatuh sesudah Fa’ atau Wawu maka yg banyak diharkati Sukun, contoh :

فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي

FALYASTAJIIBUU lii WALYU’MINUUNII bii = maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku (QS. Al-baqarah 186).
Dan terkadang diharkati Sukun jika jatuh sesudah TSUMMA, contoh :

ثُمَّ لْيَقْطَعْ فَلْيَنْظُرْ

TsummaLYAQTHO’ faLYANZHUR = kemudian hendaklah ia melaluinya, kemudian hendaklah ia pikirkan (QS. Al-Hajj 15)
4. لم LAM Nafi
Adalah huruf nafi yg khusus masuk pada Fi’il Mudhari’ serta menjazemkannya, merubah zamannya dari Hal atau Istiqbal kepada zaman Madhi, contoh Ayat Al-Qur’an :

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ

LAM YALID wa LAM YUULAD = Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan (QS Al-Ikhlash 3)
Sebagai pengecualian apabila LAM Nafi dimasuki oleh adawat syarat, maka fungsi perubahan zaman dari Hal/Istiqbal ke zaman madhi menjadi batal, maka LAM nafi disini diberlakukan khusus untuk zaman Istiqbal. Contoh pada Ayat Al-Qur’an berikut:

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ

Fa in LAM TAF’ALUU fa’dzanuu bi harbin minallaahi wa rosuulihi = Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS al-Baqarah 279)
I’rob :
Lafazh TAF’ALUU = dijazemkan dengan membuang Nun karena Af’alul Khomsah. Amil Jazemnya dalam hal ini boleh LAM Nafi karena khusus masuk pada Fi’il Mudhari. Dan boleh IN Syarthiyah karena lebih awal dan lebih kuat beramal baik pada zamnnya (Istiqbal) dan lafazhnya (Jazem).
Terkadang LAM Nafi dimasuki oleh Hamzah Istifham Taqririy (yg berfungsi sebagai penetapan kepada mukhotob), maka pengamalan LAM Nafi tetap berlaku dan banyak ditemukan di dalam Ayat-ayat Al-Quran, contoh :

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ

ALAM NASYROH laka shodrok = Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? (QS. Alam Nasyrah 1).
5. لما LAMMAA (Amil Jazem)
Khusus masuk pada Fi’il Mudhari’ dan menjazemkannya. Bersekutu dengan LAM dalam hal sama-sama berupa Kalimah huruf, Amil Jazem, Merubah zaman ke Madhi, boleh dimasuki Hamzah Istifham, dan sama-sama Huruf Nafi namun untuk LAMMA lebih mencapai penafiannya dari Madhi hingga Hal/sekarang.
Contoh ayat dalam Al-Qur’an :

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ

Qoolatil-a’roobu aamannaa, qul LAM TU’MINUU walaakin quuluu aslamnaa wa LAMMAA YADKHULIL-iimaanu fii quluubikum = Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu (QS Al Hujuraat 14)
I’rob :
LAM dan LAMMA = Huruf Nafi, Amil Jazem, dan merubah zaman.
TU’MINUU = Fi’il Mudhari’ Majzum sebab Amil Jazem LAM, tanda jazemnya membuang huruf Nun karena Af’alul-Khosah.
YADKHULil = Fi’il Mudhari’ Majzum sebab Amil Jazem LAMMAA, tanda jazemnya sukun, diharkati kasroh karena bertemu dua huruf mati yakni bertemu dengan AL.
Perbedaan penggunaan LAMMAA dan LAM
Ada beberapa hal yg menjadi ciri khas LAMMAA :
1. Kebolehannya membuang Majzumnya dan cukup berhenti di kata LAMMAA sekalipun pada situasi Ikhtiyar (longgar dalam sebuah perkataan) contoh :

قاربت مكة ولما

QOOROBTU MAKKATA WA LAMMAA = aku sudah mendekati Mekkah dan masih belum.
Yakni takdirannya :

قاربت مكة ولما أدخلْها

QOOROBTU MAKKATA WA LAMMAA ADKHUL HAA = aku sudah mendekati kota mekkah dan masih belum memasukinya.
2. Wajibnya penempatan waktu penafian dari zaman Madhi (sebelum masa pembicaraan) hingga zaman Haal (ketika pembicaraan). Contoh :

أعجبني تفسير ابن كثير وحسن طباعته ولما أشتره

A’JABANIY TAFSIIRU IBNI KATSIIRI WA HUSNU THIBAA’ATIHII WA LAMMAA ASYTARIHI = Tafsir Ibnu Katsir berikut pencetakanya yg bagus itu membuatku kagum, dan aku belum membelinya.
Yakni tidak membelinya pada masa lalu dan tidak pula hingga sekarang.
3. Bolehnya Fi’il yg dijazemkannya tersebut berupa kejadian yg dapat terjadi. Contoh :

وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ

wa LAMMAA YADKHULIL-iimaanu fii quluubikum = karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu (QS Al Hujuraat 14)
Yakni belum beriman hingga sekarang dan suatu saat nanti boleh jadi beriman.

بَلْ لَمَّا يَذُوقُوا عَذَابِ

BAL LAMMAA YADZUUQUU ‘ADZAABI = dan sebenarnya mereka belum merasakan azab-Ku. (QS. Shaad 8)
Yakni belum merasakan Azab sekarang dan boleh akan merasakannya nanti.
Oleh karena itu tidak boleh mempergunakan LAMMAA untuk peristiwa yg tidak akan mungkin terjadi, maka tidak boleh mengatakan :

لَمَّا يَجمع الليل والنهار

LAMMAA YAJMA’ ALLAILU WAN-NAHAARU = Malam dan siang belum berkumpul.
Sebab malam dan siang memang tidak mungkin bersatu.
Ada beberapa hal yg menjadi ciri khas LAM Nafi :
1. Dapat dimasuki sebagian Adawat Syarat, contoh dalam Al-Qur’an :

وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

WA MAN LAM YATUB FA ULAAIKA HUMUZH-ZHAALIMUUN = dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS Al-Hujuraat 11)

وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ

WA IN LAM TAF’AL FAMAA BALLAGHTA RISAALATAHU = Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. (QS. Al-Maaidah 67)
Berbeda dengan Amil Jazem LAMMA yg tidak boleh jatuh sesudah ataupun sebelum adawat Syarat.
2. Kebolehannya makna penafian Fi’il Mudhari’ terlepas sebelum masa pembicaraan, contoh dalam Al-Qur’an :

هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئاً مَّذْكُوراً

HAL ATAA ‘ALAL-INSAANI HIINUN MINAD-DAHRI LAM YAKUN SYAI’AN MADZKUUROO = Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS. Al-Insaan 1)
Yakni dulu dan sekarang manusia sudah ada.
Dan terkadang ada yg tetap berlanjut tanpa terlepas hingga masa pembicara, contoh dalam Al-Qur’an :

وَلَمْ أَكُن بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيّاً

WA LAM AKUN BI DU’AA’IKA ROBBI SYAQIYYAA = dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. (QS Maryam 4).
Dengan mengetahui perbedaan masa antara LAM Nafi dan LAMMAA Nafi, maka benar mengatakan :

لم يحضر الضيف وقد حضر

LAM YAHDHUR ADH-DHAIFU WA QOD HADHARA = tamu itu tidak datang dan telah datang.
Tidak benar mengatakan :

لما يحضر الضيف وقد حضر

LAMMAA YAHDHUR ADH-DHAIFU WA QOD HADHARA = tamu itu belum datang dan telah datang.
Yang benar mengatakan :

لما يحضر الضيف وقد يحضر

LAMMAA YAHDHUR ADH-DHAIFU WA QOD YAHDHURU = tamu itu belum datang dan terkadang datang.
Atau benar mengatakan :

لما يحضر الضيف وسوف يحضر

LAMMAA YAHDHUR ADH-DHAIFU WA SAUFA YAHDHURU = tamu itu belum datang dan akan datang.
000
Amil Jazem pada dua Fi’il, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Malik pada Bait diatas semua berjumlah 11.
Amil Jawazim tsb ada yg berupa Kalimah Isim yg menempati mahal/posisi I’rob. Dan ada yg berupa Kalimah Harf tanpa menempati mahal I’rob. Mengenai ini, InsyaAllah akan dijelaskan satu-persatu mengingat pentingnya mengetahui posisi didalam I’robnya. Semoga Allah memberi kemudahan khususnya bagi saya dan bagi antum semua pencinta Bahasa Arab. Aamiin.
1. إن IN
Kalimah Huruf, Huruf Syarat, Amil Jazm dan tidak menempati posisi I’rob. Berfungsi sebagai pencetus timbulnya Jawab atas adanya Syarat, tanpa memberlakukan penunjukan Zaman dan Makan (waktu dan tempat) ataupun Aqil dan Gharu Aqil (berakal dan tidak).
Contoh :

إن تصحب الأشرار تندمْ

IN TASHHABIL-ASYROORO TANDAM = jika kamu temani orang-orang jahat niscaya kamu menyesal.
Contoh dalam AL-Qur’an :

إِن يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ

IN YASYA’ YUDZHIBKUM = Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu.
2. من MAN
Isim Syarat, Amil Jazem, Mabni Sukun, digunakan untuk yg berakal.
MAN Syarat menempati posisi ROFA’ sebagai MUBTADA’ apabila :
> Fi’il Syaratnya berupa FI’IL LAZIM.
Contoh :

من يكثرْ كلامه يكثرْ ملامه

MAN YAKTSUR KALAAMUHU YAKTSUR MALAAMUHU = barang siapa yg banyak bicaranya maka banyak celaannya.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا

MAN JAA’A BIL-HASANATI FALAHUU KHAIRUN MINHAA = Barangsiapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik dari padanya (QS. Annaml 89)
I’rob :
MAN = Isim Syarat, Amil Jazem, Mabni Sukun dalam posisi Rofa’ menjadi Mubtada’.
JAA’A = Fi’il Madhi Mabni Fathah dalam posisi Jazem menjadi Fi’il Syarat.
FALAHUU KHAIRUN MINHUM = Jawab Syarat dalam posisi Jazem.
Jumlah Syarat disini sebagai Khobar dari Mubtada’ menurut qoul yg lebih rojih.
> Fi’il Syaratnya berupa FI’IL NAWASIKH
Contoh :

من يكنْ عجولاً يكثرْ خطؤه

MAN YAKUN ‘UJUULAN YAKTSUR KHOTHO’UHU = barang siapa terburu-buru niscaya akan banyak kekeliruannya.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ

MAN KAANA YURIIDU HARTSAL-AAKHIROTI NAZID LAHU FI HARTSIHI = Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya. (QS. Asy-Syuura 20)
I’rob :
MAN = Mubtada’
KAANA = Fi’il Madhi, Fi’il Syarat. Isimnya dhamir mustatir yg merujuk pada MAN.
YURIIDU = Khobar Jumlah.
NAZID LAHU = Jawab Syarat.
KAANA + YURIIDU = Jumlah dalam mahal Rofa’ menjadi Khobar dari Mubtada MAN.
> Fi’il Syaratnya berupa FI’IL MUTA’ADDI kepada selainnya :
Contoh:

من يحترم الناس يحترموه

MAN YAHTARIM AN-NAASA YAHTARIMUU HU = barang siapa menghormati orang lain maka orang lain menghormatinya.
Contoh dalam Al-Qur’an :

مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ

MAN YA’MAL SUU’AN YUJZA BIHI = Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu (QS. An-Nisaa’ 123)
I’rob :
MAN = Isim Syarat, Amil Jazm, mabni sukun, mahal rofa’ menjadi Mubtada.
YA’MAL = Fi’il Syarat, dijazemkan dengan sukun, Faa’ilnya berupa dhamir mustatir Jawazan takdirannya Huwa merujuk pada MAN. Jumlah Fiil Syarath ini sebagai khobar jumlah dari mubtada’ MAN.
SAWAA’AN = Maf’ul Bih, Manshub dengan Fathah.
YUJZA = Jawab Syarat, Majzum dg membuang huruf Illat Alif.
MAN Syarat menempati posisi NASHAB sebagai MAF’UL BIH apabila :
> Fi’il Syaratnya berupa FI’IL MUTA’ADDI kepada dirinya :
Contoh :

من تساعد أساعده

MAN TUSAA’ID USAA’ID HU = kepada siapa pun kamu membantu niscaya aku ikut membantunya.
I’rob :
MAN = Mahal Nashab menjadi Maf’ul Muqaddam.
MAN Syarat menempati posisi JARR apabila diawali dengan huruf Jar atau menjadi Mudhaf Ilaih. Contoh :

عمن تتعلم أتعلم

AN-MAN TATA’ALLAM ATA’ALLAM = dari siapa pun kamu belajar niscaya aku ikut belajar.

كتاب من تقرأ أقرأ

KITAABA MAN TAQRO’ AQRO’ = kitab siapa pun kamu baca niscaya aku ikut baca.
3. ما MAA
Isim Syarat, Amil Jazm, digunakan untuk yg tidak berakal, dii’rob seperti keterangan I’rob pada MAN.
Contoh :

ما تنفق من خير تجد ثوابه

MAA TUNFIQ MIN KHAIRIN TAJID TSAWAABAHU = apa saja yg kamu nafakahkan dari nafaqah baik, niscaya kamu akan mendapat pahalanya.
Contoh dalam Al-Qur’an :

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

MAA NANSAKH MIN AAYATIN AW NUNSI HAA NA’TI BI KHAIRIN MINHAA AW MITSLIHAA, ALAM TA’LAM ANNALLAAHA ‘ALAA KULLI SYAI’IN QODIIR = Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu? (QS. Al-Baqarah 106).
I’ROB :
MAA = Isim Syarat, Amil jazem, Mabni Sukun, dalam mahal Nashab menjadi Maf’ul Bih Muqaddam.
NANSAKH = Fi’il Syarat.
NA’TI = Jawab Syarat, dijazemkan dengan membuang huruf illat Ya’.
4. MAHMAA مهما
Isim Syarat, Amil Jazem (menurut qoul rojih), untuk yg tidak berakal. Menempati posisi I’rob seperti Isim Syart “MAA”.
Contoh :

مهما تنفق في الخير يخلفْه الله

MAHMAA TUNFIQ FI’L-KHAIRI YUKHLIFHU ALLAAHU = apapun jua kamu bernafaqah di dalam kebaikan niscaya Allah akan menggantikannya.
Contoh dalam Al-Qur’an :

وَقَالُواْ مَهْمَا تَأْتِنَا بِهِ مِن آيَةٍ لِّتَسْحَرَنَا بِهَا فَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ

WA QAALUU MAHMAA TA’TINAA BIHII MIN AAYATIN LITAS-HARONAA BIHAA FAMAA NAHNU LAKA BI MU’MINIIN. = Mereka berkata: “Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu.” (QS, Al-A’raaf 132)
I’rob :
MAHMAA = Isim Syarat, Amil Jazm, Mabni Sukun dalam Mahal Rofa’ sebagai Mubtada’.
TA’TINAA = Fi’il Syarat berikut Fa’ilnya menjadi khobar dari Mubtada’ Mahmaa.
FAMAA NAHNU LAKA BI MU’MINIIN = Jawab Syarat dalam Mahal Jazem.
5. AYYUN اي
Isim Syarat, Amil Jazem, status I’robnya dipertimbangkan menurut mudhaf ilaihnya.
Contoh mudhaf pada yg berakal :

أيُّهم يقم أقم معه

AYYUHUM YAKUM AKUM MA’AHU = siapapun dari mereka berdiri niscaya aku ikut berdiri bersamanya.
AYYUHUM = sebagai Mubtada’
Contoh mudhaf pada yg tidak berakal :

أيّ الكتب تقرأ أقرأ

AYYAL-KUTUBI TAQRO’ AQRO’ = apapun kitab yg kamu baca niscaya aku mau membacanya.
AYYAL-KUTUBI = sebagai Maf’ul Muqaddam.
Contoh mudhaf pada Isim Zaman :

أيّ يوم تسافر أسافر

AYYA YAUMIN TUSAAFIR USAAFIR = Di hari apapun kamu pergi niscaya aku ikut pergi.
AYYA YAUMIN = sebagai Zharaf Zaman
Contoh mudhaf pada Isim Makan :

أيَّ بلد تسكن أسكن

AYYA BALADIN TASKUN ASKUN = Di negri manapun kamu berhenti niscaya aku ikut berhenti.
AYYA BALADIN = sebagai Zharaf Makan
Contoh mudhaf pada Mashdar :

أيّ نفع تنفع الناس يشكروك عليه

AYYA NAF’IN TANFA’IN-NAASA YASYKURUUKA ‘ALAIHI = apapun manfa’at yg kamu berikan kepada manusia, niscaya mereka akan bersyukur atasnya.
AYYA NAF’IN = sebagai Maf’ul Muthlaq
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

أَيّاً مَّا تَدْعُواْ فَلَهُ الأَسْمَاء الْحُسْنَى

Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)
I’rob :
AYYAN = Isim Syarat, Amil Jazem, dinashabkan menjadi Maf’ul Bih muqaddam.
MAA = Huruf Zaidah sebagai penaukidan makna.
TAD’UU = Fi’il Syarat, dijazemkan dengan membuang huruf Nun termasuk dari Af’alul-Khomsah, faa’ilnya berupa wawu dhamir jamak.
FALAHUL-ASMAA’UL-HUSNAA = Jawab Syarath, menempati mahal Jazem.
Tanwin pada lafazh AYYAN adalah tanwin iwadh pengganti dari mudhaf ilaihnya yg dibuang takdirannya AYYA ISMIN.
Huruf MAA Zaidah, demikian menurut salah satu qoul yakni sebagai Taukid bagi lafazh AYYUN yg samar. Sedangkan menurut qoul yg lain, MAA juga sebagai Isim Syarat dan berkumpulnya kedua Syarat tersebut sebagai Taukid.
6. MATAA متى
Isim Syarat, Amil Jazem. Penggunaannya untuk penunjukan zaman secara mutlak, kemudian dicakupi pada penggunaan makna Syarat, secara posisi I’robnya ia menempati mahal Nashab atas Zharaf Zaman.
Contoh :

متى يأت فصل الصيف ينضج العنب

MATAA YA’TI FASHLUSH-SHAIFU YANDHAJ AL-’INABU = bilamana datang musim panas maka masaklah buah anggur.
7. AYYAANA أيان
Isim Syarat dan Amil Jazem serupa penggunaannya dengan MATAA.
Contoh :

أيان يكثر فراغ الشباب يكثر فسادهم

AYYAANA YAKTSUR FARAAGHUSY-SYABAABI YAKTSUR FASAADUHUM = bilamana muda-mudi banyak nganggurnya maka banyak pula rusaknya.
I’rob :
AYYAANA = Isim Syarath Amil Jazem, Mabni Fathah pada posisi Nashab menjadi Zharaf.
YAKTSUR = Fi’il Syarat.
YAKTSUR FASAADUHUM = Jawab Syarat, Fasaaduhum sebagai Faa’ilnya.
Contoh MATAA dan AYYAANA Syartiyah di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan.
8. AINA أين
Isim Syarat dan Amil Jazem, diutamakan bersambung dengan MAA untuk memungkinkan makna Syarat. Penggunaannya untuk penunjukan makan/tempat, kemudian dicakupi pada penggunaan makna Syarat, secara posisi I’robnya ia menempati mahal Nashab atas Zharaf Makan.
Contoh :

أينما تذهب أصحبْك

AINAMAA TADZHAB ASHHABKA = ke mana pun kamu pergi, aku menemanimu.
Contoh dalam Al-Qur’an :

أَيْنَمَا يُوَجِّههُّ لاَ يَأْتِ بِخَيْرٍ

AINAMAA YUWAJJIHHU LAA YA’TI BI KHAIRIN = ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. (QS. An-Nahl 76)
I’rob :
AINA = Isim Syarat dan Amil jazem, Mabni Fathah dalam posisi Nashab sebagai Zharaf Makan yang berta’alluq pada lafazh YUWAJJIHHU.
MAA = sebagai Taukid.
YUWAJJIHHU = Fi’il Syarat, HU dhamir menjadi Maf’ul Bih.
LAA YA’TI BI KHAIR = Jawab Syarat, YA’TI dijazemkan dengan membuang huruf Illat Ya’.

أَيْنَمَا تَكُونُواْ يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ

AINAMAA TAKUUNUU YUDRIKKUMUL-MAUTU = Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu (QS. Annisaa’ 78)
I’rob :
AINAMAA = idem, zharaf makan berta’alluq pada lafazh “YUDRIKKUM”
TAKUUNUU = Fi’il Syarat, Wawu dhamir manjadi Fa’ilnya, tashrif dari KAANA Tamm, bimakna TUUJIDUU (kamu berada).
YUDRIKKUM = Jawab Syarat.
9. IDZMAA إذما
Termasuk dari Huruf Syarat dan Amil Jazem (menurut qaul yg lebih rojih), tidak menempati mahal I’rob (laa mahalla minal I’rob) digunakan khusus hanya untuk menggantungkan Jawab pada Syarat seperti faidah IN syarthiyah. Bersambung dengan MAA Zaidah untuk menjadikannya sebagai Amil Jazem.
Contoh :

إذما تفعل شراً تندمْ

IDZMAA TAF’AL SYARRAN TANDAM = jikalau kamu kerjakan kejelekan, maka kamu menyesal.
I’rob :
IDZMAA = Huruf Syarat Amil Jazm, Mabni sukun tanpa menempati mahal I’rob.
TAF’AL = Fi’il Syarat.
TANDAM = Jawab Syarat.
Tidak ditemukan contohnya dalam Al-Qur’an.
10. HAITSUMAA حيثما
Isim Syarat dan Amil Jazem, bersambung dengan MAA zaidah merupakan syarat Amil Jazemnya, menempati Mahal I’rob Nashab sebagai Zharaf Makan.
Contoh:

حيثما تجد صديقاً وفياً تجد كنزاً ثميناً

HAITSUMAA TAJID SHIDDIIQAN WAFIYYAN TAJID KANZAN TSAMIINAN = Dimana saja kamu dapati jujur lagi menepati, maka kamu dapati simpanan yg berharga.

وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَه

WA HAITSUMAA KUNTUM FAWALLUU WUJUUHAKUM SYATHRAH = Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (QS. Albaqarah 144)
I’rob :
HAITSUMAA = Isim Syarat Amil Jazem, Mabni Dhammah mahal Nashob (dinashobkan menjadi khobar muqaddam dari KUNTUM apabila diberlakukan sebagai Fi’il Naqish, atau dinashobkan sebagai Zharaf Makan berta’alluq pada KUNTUM yg diberlakukan Fi’il Tamm). MAA sebagai shilah.
KUNTUM = Fi’il Madhi Naqish, Mabni Sukun Mahal Jazem sebagai Fi’il Syarat. TUM sebagai isim Kaana dan MIM tanda jamak.
FAWALLUU = Jumlah Fi’il dan Faa’il dalam posisi Mahal Jazem menjadi Jawab Syarat.
Tidak ditemukan contoh lain dalam Ayat Al=Qur’an kecuali Ayat ini.
11. ANNAA أنى
Isim Syarat & Amil Jazem, digunakan untuk menunjukkan tempat kemudian dipergunakan juga untuk makna Syarat, menepati posisi I’rob Mahal Nashab atas Zharaf Makan seperti AINAMAA & HAITSUMAA.
Contoh :

أنى ينزل ذو العلم يُكرمْ

ANNAA YANZAL DZUL-’ILMI YUKROM = dimana saja orang berilmu itu turun, ia dihormati.

Fi’il Mudhari’ Manshub sebab Amil Nawashib LAN, KAY, AN (لن كي أن) » Alfiyah bait 677-678

13 April 2012 12 komentar
–·•Ο•·–

وَبِلَنْ انْصِبْهُ وَكَيْ كَذَا بِأَنْ ¤ لا بَعْدَ عِلْمٍ وَالّتِي مِنْ بَعْدِ ظَنِ

Nashabkanlah terhadap Fi’il Mudhari’ sebab dimasuki Lan atau Kay, atau juga dimasuki AN yg tidak berada setelah Ilm (Fi’il makna yaqin). Adapun An yg berada setelah Zhann (Fi’il makna sangkaan)… <lanjut bait seterusnya> 

فَانْصِبْ بِهَا وَالرَّفْعَ صَحِّحْ وَاعْتَقِدْ ¤ تَخْفِيفَهَا مِنْ أنَّ فَهْوَ مُطَّرِدْ

maka bolehlah menashabkannya atau lebih baik tetap merofa’kannya. Dan nyatakanlah (bahwa AN yg tetap merofa’kan Fi’il Mudhari’ tsb) sebagai Takhfif dari ANNA, demikian ini yg “Muththarid” (yg banyak ditemukan dalam Kalam Arab). 
–·•Ο•·–
Menerangkan bagian kedua dari keadaan I’rob Fi’il Mudhari’, yaitu Fi’il Mudhari’ Manshub/dinashabkan sebab dimasuki oleh salah satu Amil dari Amil-amil Nawashib yang berupa :
1. LAN Nafi Mustaqbal.
2. KAY Mashdariyah.
3. AN Mashdariyah.
4. IDZAN Mashdariyah. (dijelaskan pada bait selanjutnya)
1. LAN (tidak akan)
Adalah huruf Nafi Mustaqbal berfungsi meniadakan peristiwa/pekerjaan akan datang, yakni apabila masuk pada Fi’il Mudhari’ maka tertentu pada zaman Istiqbal (akan datang).
Contoh Ayat dalam Al-Qur’an :

قَالُوا لَنْ نَبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَى

Qooluu LAN NABROHA ‘alaihi ‘aakifiina hattaa yarji’u ilainaa muusaa = ” Mereka menjawab: “Kami AKAN TETAP menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami.” (QS. Thoha : 91)
I’rob
Lafazh LAN NABROHA (artinya: tidak akan berhenti / akan tetap):
LAN = huruf Nafi Istiqbal dan Amil Nashab.
NABROHA = Fi’il Mudhari Manshub, tanda nashabnya Fathah zhahir. Termasuk dari saudara Kaana. Isimnya berupa dhamir mustatir wujuban takdirnya “Nahnu”, dan khobarnya adalah lafazh “Aakifiina”.
Terkadang pada LAN tsb dimasuki Hamzah Istifham yg berfaidah Ingkar, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

أَلَنْ يَكْفِيَكُمْ أَنْ يُمِدَّكُمْ رَبُّكُمْ بِثَلَاثَةِ آلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُنْزَلِينَ

ALAN YAKFIYAKUM an yumiddakum robbukum bi tsalaatsati aalaafin minal-malaa’ikati munzaliin = “APAKAH TIDAK CUKUP BAGI KAMU Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?” (QS. Ali Imran : 124).
I’rob :
LAN = Huruf Nafi, dan Amil Nashob.
YAKFIYA = Fi’il Mudhari’ Manshub.
KUM = Huruf “Kaf” Dhamir Muttashil mahal Nashab menjadi Maf’ul Bih, huruf “Mim” tanda jamak.
AN YUMIDDAKUM = ta’wil mashdar mahal rofa’ manjadi Faa’il.
2. KAY (supaya)
Termasuk dari huruf Mashdariyah, tanda Kay Masdariyah disini adalah diawali dengan Lam Ta’lil (lam yg berfungsi sebagai penjelasan/alasan/agar), contoh:

تعلم لكي تفيدَ وتستفيدَ

TA’ALLAM LIKAY TAFIIDA WA TASTAFIIDA = belajarlah agar supaya kamu dapat memberi manfa’at dan mengambil manfaat.
Contoh Ayat dalam Alqur’an :

لِكَيْلَا تَأْسَوْا

LIKAYLAA TA’SAW = agar supaya kamu jangan berduka cita (QS. Al-hadiid 23)
I’rob :
LIKAYLAA = LI huruf jar, KAY huruf mashdariyah dan amil nawashib, LAA huruf Nafi.
TA’SAW = Fi’il Mudhari’ Manshub sebab dimasuki KAY, tanda nashabnya dengan membuang Nun karena termasuk dari Af’alul Khomasa/Fi’il yg Lima. Waw adalah dhamir jamak muttashil marfu’ manjadi Faa’il. Jumlah KAY berikut kalimat sesudahnya adalah jumlah takwil mashdar majrur sebab huruf jar LI. Takdirannya “LI ‘ADAMI ASAAKUM”
Berbeda dengan KAY Ta’liliyah sebagai Amil Jarr bukan sebagai Amil Nashab, dimana telah dijelaskan keterangannya pada Bab Huruf-huruf Jar, yakni Fi’il Mudhari’ yg nashab setelah KAY ta’liliyah tsb sebenarnya dinashabkan oleh AN yg disimpan ataupun yg dizhahirkan. Tanda-tanda KAY Ta’liliyah adalah apabila setelahnya ada AN atau Lam-nya yg diakhirkan.
Contoh mengakhirkan Lam :

جئت كي لأتعلم

JI’TU KAY LI ATA’ALLAMA = aku datang untuk belajar
Contoh setelahnya ada AN :

جئت كي أن أتعلمَ

JI’TU KAY AN ATA’ALLAMA = aku datang untuk belajar
Apabila sebelum KAY tidak ada Lam atau setelahnya tidak ada AN, maka boleh sebagai KAY Mashdariyah dengan pertimbangan mentakdir Lam di sebelumnya, atau boleh dijadikan sebagai KAY Ta’liliyah dengan mentakdir AN di sesudahnya.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

فَرَدَدْنَاهُ إِلَى أُمِّهِ كَيْ تَقَرَّ عَيْنُهَا وَلَا تَحْزَنَ

FARODADNAAHU ILAA UMMIHII KAY TAQORRO ‘AINUHAA WALAA TAHZANA = Maka kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita (QS. Al-Qashash 13)
I’rob :
KAY TAQORRO = KAY: boleh sebagai Kay Mashdariyah atau Kay Ta’liliyah. TAQORRO: Fi’il Mudhari’ boleh dinashabkan oleh Kay Mashdariyah. Atau boleh dinashobkan oleh AN yg ditakdir, susunan AN+Fi’il Mudhari disini adalah Takwil mashdar dijarkan oleh KAY Ta’liliyah.
Apabila sebelum KAY ada Lam atau setelahnya ada AN, maka boleh juga sebagai KAY Mashdariyah yg menashabkan Fiil Mudhari dan AN sebagai Taukid, atau yg lebih baik dijadikan sebagai KAY Ta’liliyah sebagai taukid bagi Lam sebelumnya, dan yg menashabkan Fi’il Mudhari’ tsb adalah AN.
3. AN
Adalah huruf Mashdariyah. Termasuk Amil Nashab yg paling kuat, sebab dapat beramal baik secara Zhahir maupun Taqdir. Juga Amil Nashab yg paling banyak ditemukan di dalam Al-Qur’an. Konsepsi dari AN Masdariyah ini adalah : bahwa AN berikut Shilahnya ditakwil mashdar yg menempati posisi I’rob pada susunan kalam, seperti contoh:

الغيبة أن تذكر أخاك بما يكره

Al-ghiibatu AN TADZKURO akhooka bimaa yukrohu = Ghibah adalah menyebut perilah saudaramu dengan suatu yg dibenci.
I’rob:
AN = huruf masydariyah dan amil nashab
TADZKURO = fiil mudhari manshub.
AN + TADZKURO = takwil mashdar dalam posisi menjadi khobar, takdirannya adalah :

الغيبة ذكرك أخاك بما يكره

Al-Ghiibatu DZIKRUKA akhooka bimaa yukrohu.
Perlu juga diketahui perihal tiga keadaan pada lafazh AN yg dalam hal ini:
1. AN yg diawali dengan Kalimah yg menunjukkan makna yaqin, semisal ALIMA dkk. AN disini disebut AN mukhaffafah dari ANNA yg termasuk dari amil nawasikh menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya. Maka AN dalam hal ini mempunyai tiga hukum
  • Isimnya berupa Dhamir Syaen yg terbuang.
  • Fi’il Mudhari’ yg ada setelahnya tetap Rofa’.
  • Umumnya ada Fashl/pemisah antara Fi’il Mudhari dan AN, dengan salah-satu huruf pemisah yg empat sebagaimana telah disebutkan pada Bab INNA dan saudara-saudaranya. Pemisahan ini bertujuan untuk membedakan antara AN mukhaffafah dengan AN Mashdariyah. Contoh:

أيقنت أن سيندم الظالمون

Ayqantu AN SAYANDAMU azh-Zhaalimuun = Aku meyakini bahwa orang-orang yg zalim pasti akan menyesal.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى

Alima AN SAYAKUUNU minkum mardhoo = Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit (QS. Al Muzammil 20)
I’rob :
AN = Mukhaffafah dari ANNA, Isimnya berupa dhamir syaen yg dibuang.
SA = huruf tanfis (huruf istiqbal) sebagai fashl.
YAKUUNU = Fi’il Mudhari’ Marfu’ tanda rofa’nya dengan dhammah, termasuk Fi’il Naqish (tidak tamm) yakni merofa’kan isimnya dan menashabkan khobarnya.
MINKUM = Khobarnya Yakuunu yg muqoddam.
MARDHOO = Isimnya Yakuunu yg muakhkhor.
Jumlah Yakuunu+Isim+khobar = Khobarnya AN Mukhoffafah.
2. AN yg diawali dengan Kalimah yg menunjukkan makna zhann/rujhaan, semisal ZHONNA, KHOOLA, HASIBA dkk. Boleh AN disini disebut AN mukhaffafah dari ANNA yg menetapkan Fi’il Mudhari’ Marfu’ berikut ketiga hukum diatas. Dan yg banyak digunkan dan rojih adalah sebagai AN mashdariyah yg menashobkan Fi’il Mudhari’ demikian ini untuk menetapkan asal Zhann pada batasannya. Sedangkan menetapkan merofa’kan Fi’il Mudhari’ dapat memastikan pada makna Yakin.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

وَحَسِبُوا أَلَّا تَكُونَ فِتْنَةٌ

WAHASIBUU ALLAA (AN LAA) TAKUUNA FITNATUN = Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun (QS. Al-Maidah 71).
I’rob :
TAKUUNA =
(1). Qiro’at Abu Amr dan Hamzah berikut Al-Kasaa’i merofa’kan TAKUUNU dg menjadikan AN mukhaffafah dan HASIBUU bermakna Yakin karena AN Takhfif berfungsi Taukid sedang Taukid tidak terjadi kecuali bersamaan dg makna Yakin.
(2). Qiro’at yg empat selain Abu Amr dan Hamzah menashabkan TAKUUNA sebagai Amil Nashab pada Fiil Mudhari’ dan HASIBUU bermakna Zhann/sangkaan. Karena AN yg menashobkan bukanlah sebagai Taukid bahkan sesuatu yg diawali dg AN ini boleh saja akan terjadi ataupun tidak terjadi.
3. AN yg tidak diawali kalimah makna Yakin ataupun makna Zhan, yaitu sebagai kalam yg menunjukkan atas keraguan, harapan, atau keinginan. AN dalam penggunaan seperti ini adalah wajib menashabkan Fi’il Mudori’, contoh :

أرجو أن ينتصر الحق

ARJUU AN YANTISHIRO AL-HAQQ = aku berharap yang benar akan menang.
Contoh Ayat dalam Al-Qur’an:

وَالَّذِي أَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ

Walladzii athma’u AN YAGHFIRO lii khothii’atii yaumad-diin = dan Yang amat kuinginkan AKAN MENGAMPUNI kesalahanku pada hari kiamat (QS. Asy-Syuaraa’ 82)
I’rob :
AN = Huruf Mashdariyah Amil Nashab
YAGHFIRO = Fi’il Mudhari’ Manshub oleh AN.
Para Nuhat Menyebut AN MASHDARIYAH untuk membedakan dengan AN Mukhoffafah/Takhfif, AN Mufassiroh/Tafsiriyah dan AN Zaidah.
Pengertian AN Mashdariyah sebagaimana keterangan diatas.
AN Mufassiroh digunakan sebagai penafsiran atau penerangan kalam sebelumnya. AN dalam hal ini bermakan AY Mufassiroh (Artinya/Tafsirannya/Yakni/). Biasanya diawali dengan jumlah yg didalamnya mengandung makna Qaul yg bukan huruf Qaul (bukan dari ejaan lafazh Qoul), contoh dalam Ayat Al-Qur’an:

إِذْ أَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّكَ مَا يُوحَى, أَنِ اقْذِفِيهِ فِي التَّابُوتِ فَاقْذِفِيهِ فِي الْيَمِّ

Idz awhaynaa ilaa ummika maa yuuhaa, AN IQDZIFIIHI fit-tabuuti faqdzifiihi fil-yammi = yaitu ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu suatu yang diilhamkan, Yaitu: “Letakkanlah ia (Musa) didalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil) (QS, Thohaa 38-39)
I’rob :
IDZ AWHAYNAA = jumlah Qoul yg bukan dari ejaan Qoul.
MAA YUUHAA = bentuk dari Qoul
IQDZIFIIHI FIL-YAMMI = tafsir dari bentuk Qoul, adalah jumlah tafsir yg jatuh setelah AN tafsiriyah di-I’rob sebagai Badal atau Athaf Bayan dari Kalimah yg ditafsiri.
AN Zaidah, yaitu jatuh sesudah lafazh LAMMA yg bermakna HIINUN (ketika/tatkala), contoh Ayat dalam Al-qur’an :

فَلَمَّا أَن جَاء الْبَشِيرُ

Fa lammaa AN jaa’al-basyiiru = Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu (QS. Yusuf 96)

وَلَمَّا أَنْ جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ

Wa lammaa AN jaa’at rusulunaa luuthan sii’a bihim = Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah karena (kedatangan) mereka (QS. Al-’Ankabut 33)
Atau bersambung dengan LAW, contoh :

وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

Wa ALLAW (AN+LAW) istaqoomuu ‘alath-thoriiqoti la asqoynaahum maa’an ghadaqoo. = Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). (QS. Al-Jin 16)
AN Zaidah dalam hal ini tetap mempunyai faidah makna yakni sebagai taukid.
Sebagaimana AN yg masuk pada Fi’il Mudhari’, AN juga bisa masuk pada Fi’il Madhi ataupun Fi’il Amar, namun AN disini tidak memberi bekas I’rob pada kedua Fi’il tsb yakni tidak akan menjadi mahal Nashab karenanya, dan juga tidak akan merubah Zamannya.
Contoh AN masuk pada Fi’il Madhi :

لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا

Laulaa AN MANNA allahu ‘alainaa lakhosafa binaa = kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). (QS. Al-Qashash 82)
Contoh AN masuk pada Fi’il Amar :

أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ

AN I’MAL saabighaatin = (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar (QS. Saba’ 11).

Pengertian Isim Ghair Munsharif, Mutamakkin Ghair Amkan » Alfiyah bait 649

6 April 2012 4 komentar
–·•Ο•·–

مَا لا يَنْصَرِف

BAB ISIM TIDAK MUNSHARIF (Isim yg tidak bersuara tanwin)

الصَّرْفُ تَنْوِيْنٌ أتَى مُبَيِّنا ¤ مَعْنَى بِهِ يَكُونُ الاسْمُ أمْكَنَا

Sebutan “ash-Shorfu” adalah berupa “Tanwin” yg menjelaskan suatu arti: bahwa isim dengan tanwin ini disebut “Amkan” (lebih memungkinkan/lebih kuat keadaan/kedudukan isimnya). 
–·•Ο•·–
Telah dijelaskan pada pelajaran dahulu “Alfiyah Bait 15. Isim Mu’rob dan Isim Mabni” bahwa Isim ada dua :
1. Isim Mabni
2. Isim Mu’rob
Isim Mabni disebut Isim Ghair Mutamakkin/Tidak Mutamakkin (tidak menduduki pangkat keisiman) dikarenakan tidak dapat menerima perubahan harkat.
Sedangkan Isim Mu’rob disebut Mutamakkin yakni menduduki pangkat keisiman dikarenakan dapat menerima perubahan tanda-tanda i’rob. Isim Mutamakkin dibagi dua :
1. Isim Mutamakkin Amkan :
yaitu Isim yg dapat dimasuki oleh Tanwin yg disebut Tanwin Tamkin atau disebut juga Tanwin Tamakkun/Tanwin Amkaniyah/Tanwin Shorf.
Definisi Tanwin Tamkin/tamakkun/amkaniyah/shorf :
Adalah Tanwin yg menunjukkan atas suatu makna “bahwa Isim yg dapat menyandang tanwin ini disebut Isim Mutamakkin Amkan”.
Penjelasan Definisi Tanwin Tamkin/tamakkun/amkaniyah/shorf :
  • Suatu makna, dalam difinisi tsb artinya: tidak adanya kalimah Isim serupa dengan kalimah Huruf yg menjadikan Isim Mabni, atau tidak serupa dengan kalimah Fi’il yg menjadikan Isim tidak menerima Tanwin.
  • Disebut Isim Mutamakkin Amkan, yakni kuatnya setatus keisimannya dikarenakan mencakupi pada dua tanda Isim “I’rob dan Tanwin”. Maka isim tersebut dinamakan “Mutamakkin” (berkedudukan) sebab menerima tanda-tanda i’rob, dan disebut “Amkan” (lebih kuat kedudukannya) sebab dapat bertanwin. dengan arti bahwa isim tersebut tidak menyerupai Fi’il yg mencegah tanwin, juga tidak menyerupai Huruf yg mencegah I’rab.
  • Keluar dari definisi “Menunjukkan atas suatu Makna”, adalah berupa Tanwin Muqabalah dan Tanwin ‘Iwadh.
“Tanwin Muqabalah” ada pada Jamak Mu’anntas Salim karena status tanwin ini dipasang sebagai muqabalah/perbandingan saja dari NUN pada Jamak Mudzakkar Salim. Tanwin Muqabalah ini bisa masuk pada Isim Munsharif, contoh:

هؤلاء بناتٌ فاهماتٌ

HAA’ULAAI BANAATUN FAAHIMAATUN = mereka anak-anak perempuan yg faham.
juga masuk pada isim Ghair Munsharif, contoh :

سعادات

SU’AADAATU = beberapa Su’ad (nama perempuan).
lafazh SU’AADAATU = boleh ditanwin menjadi SU’AADAATUN karena mempertimbangkan pada asal bentuknya yaitu jama’ mu’annats salim dan disebut tanwin muqabalah bukan tanwin tamkin. juga boleh tidak ditanwin dengan mempertimbangkan keadaannya yg sebagai “Isim Alam dan Mu’annats” termasuk dari dua illat isim tidak munsharif.
“Tanwin Iwadh” bisa masuk pada Isim-Isim Munsharif seperti “KULLUN” dan “BA’DHUN” juga bisa masuk pada Isim Ghair Munsharif seperti : “DAWAA’IN” dan “LAYAALIN” (akan dijelaskan pada bait-bait selanjutnya InsyaAllah).
2. Isim Mutamakkin Ghair Amkan:
Isim Mutamakkin Ghair Amkan adalah bagian Isim Mu’rob yg kedua, yakni bagian Isim yg tidak dapat dimasuki oleh Tanwin atau disebut Isim Ghair Munsharif atau Isim yg tidak dapat menerima Tanwin. Disebut Mutamakkin karena dapat menerima tanda I’rob, dan disebut Ghair Amkan karena tidak bertanwin sebab serupa dengan Fi’il.
Telah disebutkan pada pelajaran lalu (Isim Tidak Munsharif) bahwa tanda Jarnya dengan Fathah, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا

WA IDZAA HUYYIITUM BI TAHIYYATIN FA HAYYUU BI AHSANA MINHAA = Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya (QS. Annisa’ : 86)
Lafazh AHSANA = tanda jarnya dengan Fathah.
Kecuali jika mudhaf atau dimasuki AL, maka dijarkan dengan Kasrah, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

LAQOD KHOLAQNAL-INSAANA FIY AHSANI TAQWIIM = sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tiin :4)
Lafazh AHSANI = Jar dengan Kasroh sebab mudhaf pada lafazh TAQWIIM.

إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ

IDZAA QIILA LAKUM TAFASSAHUU FIL-MAJAALISI FAFSAHUU YAFSAHILLAAHU LAKUM = apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu (QS. Al-Mujaadilah :11)
Lafazh AL-MAJAALISI = Jar dengan kasrah sebab dimasuki AL.
Para Nuhat telah merumuskan kaidah tentang tanda-tanda Isim Ghair Munsharif dengan tanda yg nyata, dimana jika Isim Mu’rob didapati ada tanda ini maka menunjukkan Isim tersebut adalah Ghair Munsharif, dan jika tidak didpati tanda ini maka menunjukkan isim tersebut Munsharif.
Para Nuhat menyebut tanda-tanda Isim Ghair Munsharif dengan sebutan “ILLAT” yakni bahwa isim yg tercegah kemunsharifannya dikarenakan mempunyai Dua Illat ataupun Satu Illat yg menempati maqom Dua Illat. Para Nuhat telah membahas masalah isim Ghair Munsharif ini dengan sangat panjang dengan pemikiran yg ekstra. InsyaAllah keterangannya akan dijelaskan pada keterangan bait selanjutnya secara terperinci. Aamiin.

I’rab Fi’il Mudhari’ Rofa’ karena kosong dari Amil Nashob dan Amil Jazm » Alfiyah Bait 676

31 Maret 2012 6 komentar
–·•Ο•·–

إعراب الفعل

BAB I’RAB KALIMAH FI’IL

اِرْفَعْ مُضَارِعاً إذَا يُجَرَّدُ ¤ مِنْ نَاصِبٍ وَجَازِمٍ كَتَسْعَدُ

Rofa’kanlah Fi’il Mudhari’ apabila kosong dari amil nashab dan amil jazem, seperti contoh “TAS’ADU” (kamu beruntung). 
–·•Ο•·–
Telah dijelaskan pada pelajaran dahulu, bahwa Fi’il Mudhari’ ada yang Mu’rob dan ada yang Mabni.
Mengenai Mabninya Fi’il Mudhari’ telah selesai pembahasannya pada Bab Mu’rob dan Mabni. Pembahasan selanjutnya mengenai i’rob Fi’il Mudhari’ baik Rofa’, Nashob dan Jazem. Yakni, jika Fi’il Mudhori’ tersebut dimasuki oleh amil nashob maka dinashobkan/Manshub, atau jika dimasuki oleh amil jazem maka dijazemkan/Majzum. Dan apabila tidak ada suatu amil pun yg masuk, maka Fiil Mudhari’ tersebut dirofa’kan/Marfu’.
Contoh Firman Allah dalam Al-Qur’an al-Karim :

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ

YUDABBIRUL-AMRO = Dia mengatur urusan (QS. As-Sajdah : 5)
I’rob :
lafazh YUDABBIRU = Fi’il Mudhari’ dirofa’kan/Marfu’ sebab kosong dari Amil Nashob dan Amil Jazem, tanda rofa’nya dengan harkat Dhamma Zhahir pada akhir kalimahnya. dan Faa’ilnya berupa Dhamir Mustatir.
lafazh AL-AMRO = Nashab menjadi Maf’ul Bih.
Tidak disebutkan oleh mushannif pada Bait di atas bahwa syarat Fi’il mudhari yg dirofa’kan harus tidak bersambung dengan Nun Taukid atau Nun Mu’annats, karena juga telah dijelaskan pada bab Mu’rob dan Mabni dalam pembahasan kemabnian Fi’il Mudhari’.

Pengertian Dua Nun Taukid dan Penggunaan-nya » Alfiyah Bait 635-636-637-638

24 Maret 2012 4 komentar
–·•Ο•·–

نُونَا التَّوْكيدِ

BAB DUA NUN TAUKID 

لـلــفــعــلِ تــوكـــيـــدٌ بــنُــونَــيْــنِ هُــــمَــــا  ¤ كَـــنُـــونَـــي اذْهَــــبَـــــنَّ واقْــصِــدَنْــهُــمَــا

Husus masuk pada kalimah Fi’il, dua Nun Taukid (tsaqilah/khafifah) seperti kedua Nun pada contoh “IDZHABANNA” WA “WAQSHIDAN” HUMAA (berangkatlah dan berkehendaklah sungguh-sungguh pada keduanya). 

يُـــؤَكِّــــدَانِ افْــــعَــــلْ ويَــفْـــعَـــلْ آتِــــيًــــا  ¤ ذا طَـــلَـــبٍ أوْ شَـــرْطًـــا امَّـــــــا تَــالِــيَـــا

Dua Nun taukid tsb menaukidi IF’AL (Fi’il Amar, secara Mutlak), juga YAF’ALU (Fi’il Mudhari’) yg datang dengan faidah Tholab (fi’il nahi/lam amar/istifham dll), atau datang sebagai fi’il syarat setelah huruf syarat IMMAA (IN syarthiyah + MAA zaidah taukid). 

أوْ مُـثْـبَــتًــا فـــــــي قَـــسَــــمٍ مُـسْـتَـقْــبَــلَا  ¤ وقَــــــلَّ بـــعـــدَ مــــــا ولــــــمْ وبـــعــــدَ لا

Atau datang sebagai kalam mutsbat (kalimat positif) pada jawab qosam yg mustaqbal. Dan jarang (penggunaan Nun taukid ini pada fi’il mudhari’) yg jatuh setelah MAA (zaidah taukid), LAM atau LAA (nafi), 

وغــيــرِ إمَّـــــا مِـــــنْ طَــوالِـــبِ الْــجَـــزَا  ¤ وآخِــــــرَ الــمــؤكَّـــدِ افْـــتَــــحْ كَـــابْــــرُزَا

juga jarang (penggunaan Nun taukid ini pada fi’il mudhari’) setelah adawat syarat tholabul-jaza’ selain IMMAA. Fat-hahkan! (mabnikan fathah) pada akhir Fi’il yg ditaukidi, ceperti contoh IBRUZAN! (sungguh tanpakkan dirimu!). 
–·•Ο•·–
Nun Taukid yg berfungsi menaukidi kalimah Fi’il itu ada dua bentuk :
1. Nun Taukid Tsaqilah (berat karena bertasydid) mabni Fathah.
2. Nun Taukid Khafifah (ringan karena sukun) mabni Sukun.
Kedua Nun Taukid tersebut boleh digunakan untuk menaukidi Fi’il Amar dengan tanpa syarat, tidak boleh dugunakan untuk menaukidi Fi’il Madhi. Sedangkan untuk Fi’il Mudhari’ harus ditafsil dengan beberapa persyaratan.
Penaukidan dengan Nun Taukid menimbulkan dua konsekuensi: Secara Makna dan Secara Lafazh.
1. Secara Makna : Menghususkan Fi’il Mudhari’ pada zaman Mustaqbal (akan datang), dan menguatkan mustaqbal untuk Fi’il Amar. sedangkan makna Faidah Taukid, bahwa Nun Taukid Tsaqilah lebih kuat penaukidannya dari pada Nun Taukid Khafifah, sesuai kaidah : “penambahan bentuk umumnya menunjukkan penambahan pada makna”.
2. Secara Lafazh : Menjadikan Fi’il Amar dan Fi’il Mudhari’ mabni Fathah, dengan ketentuan bersambung langsung tanpa ada pemisah sebagaimana telah dijelaskan pada bab Mu’rob dan Mabni.
Contoh pada Fi’il Mudhari’ :

لأنصرَنَّ المظلوم

LA ANSHURONNA AL-MAZHLUUMA = sungguh akan kubantu orang yg tertindas.
I’rob: LA = Lam jawab qosam muqaddar, ANSHURONNA = Fiil Mudhari’ mabni Fat-hah dan Nun Taukid, Faa’ilnya dhamir mustatir takdirnya ANA.

لا ترغبن فيمن زهد عنك

LAA TARGHABANNA FIY MAN ZAHIDA ‘ANKA = sungguh jangan pedulikan orang yg tidak memperhatikanmu..!
I’rob : LAA = Nahi, TARGHABANNA = Fi’il Mudhari’ Mabni Fathah mahal Jazem.
Contoh pada Fi’il Amar :

اشكرَنَّ من أحسن إليك

USYKURONNA MAN AHSANA ILAIKA = sungguh bersyukurlah terhadap orang yg berbuat baik kepadamu.
I’rob : USYKURONNA = Fi’il Amar mabni Fathah bersambung dg Nun Taukid, Fa’ilnya dhamir mustatri wujuuban takdirnya ANTA.
Hukum penaukidan Nun Taukid pada Fiil Mudhari’ disini terkadang wajib, mamnu’/dilarang, dan jaiz (baik yg sering dipakai atau yg jarang) :
1. Wajib Taukid, jika menjadi jawab qosam serta mencukupi tiga syarat :
a. harus bersambung dengan Lam Qosam
b. harus Mustaqbal
c. harus Mutsbat
contoh:

والله لأبذلنَّ النصيحة

WALLAAHI LA ABDZALANNA AN-NASHIIHATA = demi Allah sungguh aku akan mencurahkan nasehat.
contoh Firman Allah :

وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ

WA TALLAAHI LA AKIIDANNA ASHNAAMAKUM = Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu (QS. Al-Anbiyaa’ : 57)
2. Mamnu’/dicegah Taukid, ada pada dua tempat :
a. Menjadi jawab qosam tapi tidak mencukupi tiga syarat diatas, demikian apabila ada pemisah antara Lam Qosam dengan Fiil Mudhari‘, contoh:

والله لسوف أبذل النصيحة

WALLAAHI LA SAUFA ABDZALUN-NASHIIHATA = demi Allah, aku akan mencurahkan nasehat.
Contoh Firman Allah :

وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى

WA LA SAUFA YU’THIIKA ROBBUKA FA TARDHOO = Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas. (QS. Adh-Dhuhaa : 5)
atau Fi’ilnya digunakan untuk zaman Haal bukan Istiqbal, contoh :

وربي لأقومُ بواجبي الآن

WA ROBBIY LA AQUUMU BI WAAJIBIY AL-AANA = demi Tuhanku, aku lagi melaksanakan kewajibanku sekarang.
atau Fi’ilnya digunakan Manfi bukan Mutsbat, contoh:

وربِّ الكعبة لا أنصرك إن اعتديت

WA ROBBIL-HA’BATI LAA ANSHURUKA IN I’TADAITA = demi Tuhannya ka’bah, aku tidak akan menolongmu jika kamu melanggar.
contoh Firman Allah :

قَالُوا تَاللَّهِ تَفْتَؤُاْ تَذْكُرُ يُوسُفَ

QOOLUU TALLAAHI TAFTA’U TADZKURU YUUSUFA = Mereka berkata: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf (QS. Yusuf : 85)
lafazh TAFTA’U pada ayat ini takdirannya LAA TAFTA’U, dengan membuang huruf nafi.
b. Apabila tidak diawali dengan sesuatu yg menyebabkan penaukidannnya berhukum Jaiz, contoh :

كثرة العتاب تورث ُ البغضاء

KATSROTUL-’ITAABI TUUROTSUL-BAGHDHAA’I = sering mencela mewariskan kebencian.
3. Jaiz Taukid dan sering, demikian apabila diawali dengan IMMAA (IN syarthiyah yg diidghamkan pada MAA zaidah untuk taukid), atau diawali dengan adat Tolab yg berfaidah amar, nahi atau istifham dsb.
Contoh Fi’il Mudhari’ yg diawali dengan IMMAA :

إما تفعَلَنَّ الخير تنل جزاءه

IMMAA TAF’ALANNA AL-KHAIRA TUNAL JAZAA’AHUU = jika kamu benar-benar akan mengerjakan kabaikan, maka kamu akan diberi balasan kebaikan itu.
lafazh IMMAA TAF’ALANNA = asalnya IN TAF’AL, kemudian ditambah MAA pada IN dan diidghamkan.
contoh Ayat dalam Al-Qur’an :

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

WA IMMAA TAKHOOFANNA MIN QOUMIN KHIYAANATAN FANBIDZ ILAIHIM ‘ALAA SAWAA’IN = Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur (QS. Al-Anfaal : 58)
I’rob :
WAWU Isti’nafiyah. IMMAA = IN huruf syarat amil jazem, MAA zaidah taukid. TAKHOOFANNA Fi’il Mudhari’ mabni fathah dalam mahal jazem menjadi Fi’il Syarat, NUN untuk Taukid, Faa’ilnya dhamir mustatir wajuban takdirannya ANTA. Kemudian jumlah FANBIDZ ILAIHIM sebagai jawab syarat dalam mahal jazem.
Contoh Fi’il Mudhari’ diawali dengan adawat yg berfungi Amar :

لِتَرحَمَنَّ المسكين

LI TARHAMANNA AL-MISKIINA = sungguh kasihanilah orang miskin
boleh diucapkan LI TARHIM..! karena memang taukidnya berhukum jawaz.
Contoh diawali dengan adawat Nahi :

لا تؤخرَنَّ فعل الخير إلى غد

LAA TU’AKHKHIRONNA FI’LAL-KHAIRI ILAA GHADIN = sungguh janganlah kamu mengakhirkan perbuatan baik untuk besok. Dan boleh diucapkan LAA TU’AKHKHIR..!
Contoh pada Firman Allah :

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ

WA LAA TAHSABANNALLAAHA GHAAFILAN ‘AMMAA YA’MALUZH-ZHAALIMUUNA = Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. (QS. Ibrohim : 42)
I’rob : LAA nahi, TAHSABANNA fi’il mudhari’ mabni fathah dalam mahal jazm, Faa’ilnya dhamir mustatir.
Contoh yang diawali dengan adawat Istifham :

هل تصلنَّ رحمك

HAL TASHILANNA ROHIMAKA? = apakah kamu akan mengunjungi familimu? (silaturrahmi). Atau boleh dilafalkan HAL TASHIL..?.
4. Jaiz Taukid namun jarang adanya, demikian apabila Fi’il Mudhari’ jatuh sesudah MAA zaidah yg tidak diidghamkan pada IN syarthiyyah, sebagaimana orang arab mengatakan :

بعينٍ ما أرَيَنَّك

BI ‘AININ MAA AROYANNAKA = sungguh dengan mata seakan aku melihatmu.
I’rob : MAA zaidah taukid, AROYANNA fi’il mudhari’ mabni fathah, NUN taukid, KAF maf’ul bih.
Demikian juga Fi’il Mudhari’ yg jatuh sesudah LAM, contoh :

من مرت به مواسم الطاعة ولم يستغلَنَّها فهو محروم

MAN MARRAT BIHII MAWAASIMUT-THAA’ATI WA LAM YASTAGHILANNAHAA FAHUWA MAHRUUMUN = barang siapa dilewati masa-masa ta’at dan dia tidak mempersibuk diri dengan ta’at maka termasuk orang yg benasib buruk.
atau jatuh sesudah LAA NAHI contoh :

بادر بالعمل زمن الشباب لا يفوتنَّك

BAADIR BIL-’AMALI ZAMANASY-SYABAABI LAA YAFUUTUNNAKA = bersegeralah mengerjakan amal pada waktu muda selagi tidak pupus kesempatan waktumu.
contoh Firman Allah :

لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمَانُ وَجُنُودُهُ

LAA YAHTHIMANNAKUM SULAIMAANU WA JUNUUDUHUU = masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya (QS. Annaml : 18)
Atau jatuh sesudah adawat syarat selain IMMAA contoh :

من يصلَنَّ رحمه يسعد

MAN YASHILLANNA ROHIMAHUU YUS’AD = barang siapa bersilaturrahim pada familinya maka ia akan mendapat kebahagiaan.

Pengertian Isim Fi’il Amar, Isim Fi’il Madhi, Isim Fi’il Mudhari’ » Alfiyah Bait 627-628

20 Maret 2012 13 komentar
–·•Ο•·–

أسْمَاءُ الأْفْعَالِ والأصْوَاتِ

Isim Fi’il dan Isim Shaut 

مـــا نـــابَ عـــنْ فِـعــلٍ كَـشَـتَّــانِ وصَــــهْ  ¤ هُــــوَ اســـــمُ فِــعـــلٍ وكـــــذا أَوَّهْ وَمَـــــهْ

Kalimah yg menggantikan Fi’il seperti contoh “Syattana” dan “Shah” dinamakan Isim Fi’il, demikian juga seperti contoh “Awwaah” dan “Mah”. 

ومــــا بـمـعـنــى افْــعَـــلْ كـآمِــيــنَ كَــثُـــرْ  ¤ وغـــيـــرُهُ كَـــــــوَيْ وهَــيــهـــاتَ نَـــــــزُرْ

Isim Fi’il yg punya makna IF’AL (makna amar/isim fi’il amar) banyak ditemukan, seperti “Aamiin”. Dan selain makna Amar jarang ditemukan, seperti WAY (isim fi’il mudhari’) dan HAIHAATA (isim fi’il madhi). 
–·•Ο•·–
Pengertian Isim Fi’il adalah : Kalimah yg menggantikan Fi’il dalam maknanya dan pengamalannya beserta tidak dapat dibekasi oleh Amil-amil.
Contoh:

صَهْ إذا تكلم غيرك

SHOH IDZA TAKALLAMA GHAIRUKA = Diamlah jika selainmu berbicara.
SHOH = Isim Fi’il yg mengandung makna Fi’il Amar “USKUT” (diamlah!) dan beramal seperti pengamalannya. Faa’ilnya berupa Dhamir Mustatir Wujuban, takdirannya “ANTA”.
Tidak bisa dibekasi Amil-amil, karenanya tidak dapat dijadikan Mubtada’, Khabar, Faa’il dll. Berbeda dengan Mashdar yg juga menggantikan Fi’il dalam makna dan pengamalannya seperti contoh:

إكراماً المسكين

IKROOMAN AL-MISKIINA = Hormatilah orang miskin!
Lafazh IKROOMAN = menggantikan Fi’il Amar AKRIM (Hormatilah!)
akan tetapi pada Mashdar tersebut masih bisa dibekasi oleh Amil, contoh bisa dijadikan Faa’il:

سرني إكرامُك المسكين

SARRONIY IKROOMUKA AL-MISKIINA = penghormatanmu pada orang miskin menggembirakanku.
Contoh dijadikan Mubtada’:

إكرامُك المسكين تثاب عليه

IKROOMUKA AL-MISKIINA TUTSAABU ‘ALAIHI = penghormatanmu pada orang miskin, kau akan mendapat pahala karenanya.
oOo
Isim Fi’il menurut pertimbangan zamannya ada tiga bagian :
1. Isim Fi’il Amar (lebih banyak digunakan)
contoh :

عليك نفسَك فهذبها

‘ALAIKA NAFSAKA FA HADZDZIBHAA = tanamkan dan perbaiki budi-pekertimu.
lafazh ALAIKA = Isim Fi’il Amar bimakna ILZAM (tetapkan!) mabni Fathah, dan faa’ilnya berupa dhamir mustatir wujuuban takdirannya ANTA (kamu).
lafazh NAFSAKA = Maf’ul Bih dari Isim Fi’il, dinashabkan dengan fathah zahir. KAF = Mudhaf Ilaih.
Diantara Isim Fi’il Amar ini ada yg qiasi, berwazan FA’AALI yg mabni kasrah dan dari Fi’il Tsulatsi Tamm Mutashorrif, contoh :

سماعِ النصح

SAMAA’IN-NUSHHI..! = dengarkanlah nasehat itu!
2. Isim Fi’il Madhi (sedikit penggunaannya dan sima’i)
contoh :

شتان الشجاعةُ والجبن

SYATTAANASY-SYAJAA’ATU WAL-JUBNU = berbeda berani dan pengecut.
lafazh SYATTAANA = Isim Fi’il madhi bimakna IFTAROQO (berlainan), mabni Fathah.
3. Isim Fi’il Mudhari’ (juga sedikit penggunaannya dan sima’i)
contoh:

وَيْ لشباب لا يعمل

WAY LI SYABAABIN YAA YA’MALU = Heran! terhadap pemuda yg tak mau bertindak.
lafazh WAY = Isim Fi’il Mudhari’ bimakna A’JABU (saya heran), mabni sukun, faa’ilnya dhamir wajib mustatir takdirnya ANA (saya).
contoh FirmanNya dalam Al-Qur’an

وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

WAY KA’ANNAHUU LAA YUFLIKUL-KAAFIRUUNA = Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah) (QS. Al-Qashash: 82).